Setiap pagi, sebelum matahari benar-benar naik, pasar tradisional di seluruh Indonesia sudah hidup.
Aroma cabai segar bercampur wangi daun pisang, bunyi godaan pedagang memanggil pembeli, dan warna-warni sayuran memenuhi pandangan. Di tengah hiruk pikuk itu, tanpa banyak disadari, pasar tradisional menyimpan jejak gizi bangsa.
Kita sering mendengar istilah ketahanan pangan, tapi lupa bahwa fondasi sebenarnya bukan hanya di kebijakan atau teknologi tinggi. Ia justru ada di tempat yang paling sederhana, di pasar-pasar rakyat yang menjaga aliran bahan makanan dari petani ke dapur keluarga.
Pasar tradisional bukan sekadar tempat belanja. Ia adalah jantung sistem pangan Indonesia, tempat gizi, budaya, dan ekonomi rakyat bertemu setiap hari.
Pasar Sebagai Pusat Kehidupan Gizi
Sebelum ada supermarket modern, sebelum ada label "organik", pasar tradisional sudah lebih dulu menjadi ruang distribusi pangan yang beragam dan segar.
Berbeda dengan pasar modern yang dikurasi, pasar rakyat menyediakan keragaman alami dari hasil bumi lokal, contohnya pisang dari kebun tetangga, ikan dari nelayan pagi, sayur dari ladang di kaki gunung.
Keragaman ini penting. Dalam sains gizi modern, diversifikasi pangan adalah kunci asupan seimbang. Tubuh kita tidak cukup hanya dengan nasi dan lauk tunggal. Tubuh kita ini membutuhkan variasi, karbohidrat kompleks, protein, vitamin, dan mineral dari berbagai sumber.
Pasar tradisional, tanpa teori gizi pun, sudah menyediakan semuanya. Dari jagung, singkong, tempe, daun kelor, pepaya muda, hingga ikan asin. Semuanya produk lokal, terjangkau, dan segar.
Artinya, ketika kita berjalan di lorong pasar, kita sebenarnya sedang melihat peta gizi alami Indonesia.
Antropologi Gizi
Setiap daerah punya cita rasa sendiri dan itu bukan kebetulan. Di pesisir, orang makan ikan dan sayur segar karena laut dekat dan panas membuat tubuh butuh air. Di pegunungan, makanan lebih berlemak atau gurih karena suhu dingin memerlukan energi lebih besar.
Dalam konteks gizi, pasar tradisional mencerminkan antropologi rasa dan kebutuhan tubuh masyarakat setempat.
Sayur asem di Jawa, lawar di Bali, atau ikan kuah kuning di Maluku bukan sekadar hidangan, tapi adaptasi terhadap alam dan fisiologi manusia.