Benarkah Lebih Baik Sakit Gigi Daripada Sakit Hati?
Gak tuh! Sakit hati sejenak tanpa luka batin mendalam mungkin lebih baik daripada sakit gigi. Bisa jadi kreatif pula. Bikin puisi bertemakan sakit hati yang sedang dialami, nyanyi lagu-lagu patah hati...
Intinya kalau sakit hati bisa dikontrol oleh diri sendiri. Mau sedih sejenak dan kemudian lanjut dibawa happy, terserah diri sendiri.
Kalau sakit gigi, kontrolnya ada pada dokter gigi :D
Sakit gigi yang saya alami setelah dewasa, adalah gigi yang posisinya paling belakang di salah satu sisi. Karena sudah beberapa hari ditahan-tahan, akhirnya saya memutuskan ke dokter gigi dan minta dicabut. Ya, keputusan dicabut datang dari saya. Dan dokter langsung mengeksekusi tanpa memberikan penjelasan apa pun. Jadi, saya juga tidak tahu kenapa gigi tersebut menyebabkan rasa sakit.
Sakit gigi kedua, adalah gigi geraham di tengah, di sisi yang sama. Setelah mencoba menggunakan minyak tawon, makan obat peredam rasa sakit, rasa sakit hilang. Tetapi cuma sebentar saja. Pada akhirnya rasa sakit itu datang lagi.
Pada akhirnya saya harus memutuskan untuk mengunjungi dokter gigi. Seperti kasus pertama yang berbeda waktu sekian tahun, saya minta dicabut lagi. Kali ini, dokternya bertanya, "Yakin mau dicabut?" Dan saya jawab iya. Akhirnya si dokter pun mencabut gigi itu. Tanpa saya tahu mengapa gigi itu menyebabkan rasa sakit.
Kebetulan rumah orang tua saya, di Bandung, dekat dengan fakultas kedokteran gigi sebuah universitas. Dan saya dengar ayah saya yang saat itu sudah usia lansia didekati oleh beberapa mahasiswa FKG, untuk jadi kelinci percobaan.
Sebenarnya gigi ayah saya masih bagus-bagus, hanya saja warnanya coklat karena beliau seorang perokok. Ada sesekali ayah saya sakit gigi, tetapi pada akhirnya sembuh tanpa ke dokter gigi. Entahlah...mungkin rasa sakitnya ditahan-tahan hingga akhirnya kebal sendiri. Ketika para calon dokter gigi itu datang dan menjanjikan kenyamanan jika menggunakan gigi palsu, maka ayah saya termakan juga dengan rayuan mereka dan bersedia giginya dihabiskan dan dibuatkan gigi palsu.
Setelah terjadi, suara ayah saya jadi seperti suara kakek-kakel, pipinya jadi kempot. Padahal, walaupun sudah lansia, tadinya tidak seperti itu. Parahnya lagi, gigi palsu yang dibuatkan oleh para calon dokter gigi itu tidak nyaman dan menimbulkan rasa sakit ketika dipakai.