Program Makan Bergizi Gratis (MBG) terdengar seperti kabar baik. Apalagi bagi anak-anak sekolah dasar. Siapa sih yang nggak senang dengar anaknya bisa makan siang gratis di sekolah?
Tapi sejujurnya, saya tak bisa serta-merta lega. Khususnya ketika program ini diterapkan di kota-kota besar seperti Makassar dan Gowa.
Buat saya, MBG adalah langkah bagus. Tapi akan lebih efektif jika difokuskan dulu ke daerah-daerah tertinggal, terluar, dan terpencil.
Di kota, anak-anak relatif lebih punya akses makanan. Masalah utama bukan ketiadaan, tapi kualitas dan pembiasaan makan sehat.
Meski bermanfaat, tetap saya rasa penerapannya di perkotaan masih butuh penyesuaian.
Sebagai orangtua saya cukup was-was. Ada kasus keracunan massal akibat MBG di Jawa Barat. Itu membuat saya berpikir dua kali.
Bagaimana kalau makanan yang disediakan sekolah hari itu basi? Atau mungkin, tidak cocok di lidah anak saya?
Saya tahu, niat program ini baik. Tapi yang namanya makanan massal, kemungkinan untuk ada yang luput dari kontrol kualitas itu selalu ada.
Apalagi kalau distribusinya luas. Sementara pengawasan di setiap titik tidak merata. Makanya meski anak saya dapat jatah MBG di sekolah, saya tetap membekali uang jajan tiap hari.
Kenapa Uang Jajan Tetap Penting?
Saya tidak ingin anak saya kelaparan, hanya karena dia nggak suka menu MBG hari itu. Atau lebih buruk, dia mencium bau yang tidak biasa dari makanan gratis itu dan jadi takut menyentuhnya.
Dengan uang jajan, dia punya opsi. Bisa makan tambahan di kantin sekolah, yang menyajikan menu rumahan juga. Nasi, sayur, dan daging.