Makanan yang biasa dia makan di rumah. Saya beri Rp 5.000 setiap hari, cukup untuk satu porsi makan sederhana di kantin sekolah.
Saya anggap uang jajan ini buat jaga-jaga. Kalau MBG-nya enak dan aman, ya bagus. Berarti dia bisa simpan uang jajannya. Kalau ternyata kurang cocok, dia punya pilihan.
Tidak serta merta saya menyerahkan uang jajan. Setiap pagi, saya sempatkan menasihatinya. "Kalau makanannya enak, nggak usah jajan, ya. Kalau nggak enak, baru pakai uangnya. Tapi pilih yang sehat juga, jangan cuma beli jajanan manis atau keripik."
Pelan-pelan, saya ingin dia belajar memilih. Bukan cuma soal mana yang enak, tapi juga mana yang aman dan mengenyangkan.
Saya tidak ingin anak saya menjadikan uang jajan untuk jajan asal-asalan. Saya ingin dia tetap merasa punya kontrol atas pilihan makanannya. Tapi tetap dalam koridor sehat.
Flashback Jajan di Masa 90-an
Saya jadi ingat, waktu saya SD dulu. Antara tahun 1990 sampai 1996. Uang jajan saya sekitar 200 sampai 500 rupiah.
Itu sudah cukup untuk beli semangkuk bakso. Atau menyewa Nintendo/Sega satu sesi di rental dekat sekolah.
Kadang saya nabung uang jajan untuk beli majalah, beli komik Dragon Ball atau Kungfu Boy.
Meski nggak selalu berhasil hemat, pengalaman ini membentuk cara saya memandang uang. Sedikit atau banyak, uang bisa berguna kalau tahu cara makainya.
Buat saya, uang jajan bukan sekadar nominal. Tapi tentang pelajaran tanggung jawab.
Anak belajar memilih. Anak belajar menyesuaikan diri dengan situasi. Anak belajar mengelola keinginan.