Mohon tunggu...
Syarwan Edy
Syarwan Edy Mohon Tunggu... Pemelajar

Membaca akan membantumu menemukan dirimu.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Pilihan

Dari Covid-19 hingga Kanjuruhan dan Keracunan MBG: Apakah Rakyat Hanya Menjadi Angka dalam Statistik?

7 Mei 2025   12:38 Diperbarui: 7 Mei 2025   16:07 171
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Memantau Makan Bergizi Gratis (MBG) di SMP Negeri 5 Kupang (dok pribadi)

Keracunan Makanan Bergizi: Evaluasi Penting untuk Keamanan Konsumsi

"Evaluasi Program Makan Bergizi Gratis (MBG)!"

Presiden Prabowo Subianto mengklaim bahwa program Makan Bergizi Gratis (MBG) telah mencapai keberhasilan yang signifikan. Namun, klaim ini tidak lepas dari berbagai masalah yang muncul, termasuk kasus keracunan yang melibatkan sejumlah siswa. Dalam pernyataannya, Prabowo menekankan pentingnya evaluasi untuk program yang masih memiliki kekurangan ini.

Dari total 3 juta penerima program MBG, tercatat sekitar 200 siswa mengalami keracunan. Angka ini, meskipun kecil, harus menjadi perhatian serius bagi pihak terkait. Prabowo mencatat bahwa persentase keracunan hanya 0,005 persen, namun ia tetap mengingatkan perlunya langkah-langkah perbaikan di masa depan.

Dalam Sidang Kabinet Paripurna yang diadakan di Istana Kepresidenan, Prabowo menyatakan bahwa meskipun keberhasilan program MBG dinyatakan mencapai 99,99 persen, kasus keracunan menunjukkan bahwa masih ada hal-hal yang perlu diperhatikan. Oleh karena itu, Badan Gizi Nasional (BGN) diminta untuk mengevaluasi dan memperbaiki pelaksanaan program.

BGN merespons dengan menetapkan standar operasional prosedur (SOP) terbaru yang lebih ketat. Kepala BGN, Dadan Hindayana, menyampaikan bahwa langkah ini diambil untuk memastikan keamanan dan kualitas makanan yang disajikan. Hal ini diharapkan dapat mencegah terulangnya kasus keracunan yang merugikan siswa.

Dadan menjelaskan bahwa menurut SOP terbaru, sisa makanan harus ditangani dengan baik di satuan pelayanan pemenuhan gizi (SPPG) atau dapur MBG. Kebijakan ini bertujuan untuk menjaga kebersihan dan mencegah potensi risiko keracunan di sekolah.

Kasus keracunan yang dialami siswa bukan hanya terjadi di satu daerah, tetapi telah melibatkan banyak lokasi, seperti Cianjur dan Tasikmalaya di Jawa Barat, serta Bombana di Sulawesi Tenggara. Data dari Dinkes Cianjur menunjukkan bahwa puluhan siswa dari beberapa sekolah mengalami keracunan akibat makanan MBG.

Masyarakat sipil pun mulai bersuara dan mendesak agar program MBG dievaluasi secara menyeluruh. Mereka mencatat bahwa temuan masalah di lapangan, seperti keracunan, menunjukkan perlunya perbaikan dalam pelaksanaan program yang bertujuan untuk meningkatkan gizi siswa ini.

CEO Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (CISDI), Diah Satyani Saminarsih, menekankan bahwa keracunan yang terjadi mencerminkan buruknya perencanaan dan tata kelola program. CISDI bahkan telah mengeluarkan laporan yang mengulas berbagai aspek kebijakan MBG, termasuk anggaran dan standar keamanan pangan.

Dalam laporan tersebut, CISDI juga menyoroti masalah gizi, di mana banyak menu MBG yang mengandung produk tinggi gula, garam, dan lemak. Temuan ini menimbulkan pertanyaan tentang kualitas nutrisi yang diberikan kepada siswa, yang seharusnya menjadi prioritas utama program ini.

Transparansi dan akuntabilitas program MBG menjadi sorotan penting oleh Indonesia Corruption Watch (ICW). LSM antikorupsi ini melaporkan kesulitan dalam mengakses informasi terkait pelaksanaan program di berbagai sekolah. Hal ini menunjukkan adanya kekurangan dalam komunikasi dan pelaporan, yang seharusnya dapat diakses oleh publik.

Eva Nurcahyani dari ICW menyatakan bahwa sulitnya mendapatkan data konkret tentang pelaksanaan MBG membuat pihaknya meragukan efektivitas program ini. Pertanyaan pun muncul mengenai kriteria pemilihan sekolah sebagai penerima manfaat program, yang hingga kini belum terjawab dengan jelas.

Distribusi makanan MBG juga menjadi masalah. Beberapa kasus pengiriman terlambat membuat siswa harus menunggu lebih lama untuk mendapatkan makanan. Ini berdampak pada waktu belajar dan kegiatan sekolah lainnya, yang dikeluhkan oleh banyak wali murid.

Di samping itu, keterlibatan militer dalam pelaksanaan MBG memunculkan kekhawatiran tentang pengaruh psikologis terhadap siswa. Meskipun tidak ada intimidasi yang dilaporkan, keberadaan militer di lingkungan sekolah dapat menciptakan suasana yang tidak nyaman bagi anak-anak.

Minimnya keterbukaan dalam pengelolaan anggaran MBG menjadi perhatian serius. Program ini menelan biaya besar, dan tanpa adanya pengawasan yang memadai, ada risiko pemborosan dan potensi korupsi yang mengancam keberhasilan program.

Dengan anggaran sebesar Rp71 triliun pada 2025 dan target 82,9 juta penerima manfaat, penting untuk memastikan bahwa setiap rupiah digunakan dengan efisien dan transparan. Ketidakjelasan dalam mekanisme kontrol dapat menimbulkan kekhawatiran akan penyalahgunaan dana publik.

Pertanyaan yang muncul adalah apakah para pemangku kepentingan benar-benar memahami kebutuhan rakyat atau hanya melihat mereka sebagai angka statistik? Dalam konteks ini, penting untuk mendengarkan suara masyarakat dan memastikan bahwa program-program yang diterapkan benar-benar bermanfaat bagi semua pihak.

Paji Hajju 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun