Solusinya Tidak Serumit Algoritma
Kita tidak perlu membuat kebijakan setebal ribuan halaman. Yang dibutuhkan adalah:
- Integrasi antara pelestarian budaya dan model bisnis modern. Jangan hanya lindungi wastra sebagai warisan budaya tak benda---jadikan ia tulang punggung ekonomi lokal.
- Inkubator ekonomi kreatif berbasis desa adat. Latih komunitas lokal untuk mengelola brand sendiri, akses pasar digital, dan menjaga kualitas produksi.
- Regulasi protektif terhadap motif-motif tradisional. Jangan sampai motif Sumba dipatenkan merek luar, sementara penenunnya bahkan tak tahu artinya "paten".
Dan yang paling penting: berhenti anggap budaya sebagai ornamen. Budaya adalah modal.
Tenun sebagai Strategi, Bukan Sekadar Simbol
Wastra bukan kain biasa. Ia adalah narasi. Ia adalah identitas. Dan ia bisa menjadi strategi pembangunan yang konkret. Di negara-negara lain, seperti Jepang atau India, produk budaya lokal dilindungi mati-matian karena dianggap aset strategis. Kita? Masih sibuk menjadikan batik sebagai seragam formal yang dibeli karena "disuruh".
Jika kita ingin ekonomi yang berkelanjutan, inklusif, dan berdaulat---maka desa adat harus menjadi pusatnya. Bukan sekadar destinasi wisata budaya, tapi pusat produksi ekonomi kreatif dengan jati diri yang kuat.
Menenun Ulang Narasi Pembangunan
Kita butuh keberanian untuk berkata: masa depan Indonesia bisa dan harus ditenun. Bukan oleh investor asing, bukan oleh algoritma, tapi oleh tangan-tangan yang selama ini kita abaikan.
Mari berhenti menjadikan tenun sebagai simbol nostalgia.
Saatnya menjadikannya strategi nasional.
Masa Depan Indonesia Bisa Ditenun, Tapi Siapa yang Mau?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI