Coba bayangkan ini: di sebuah pasar malam di luar negeri, sehelai kain tenun dari Indonesia dijual seharga 3 juta rupiah. Sementara di desa tempat kain itu ditenun, perajinnya bahkan tak punya cukup uang untuk membeli beras hari itu. Ironis? Sangat. Tapi ini bukan cerita fiksi---ini kenyataan yang sudah berlangsung puluhan tahun, dan anehnya, masih dianggap biasa-biasa saja.
Di tengah gempuran ekonomi digital, startup miliaran dolar, dan jargon-jargon futuristik, kita sering lupa bahwa kekuatan ekonomi Indonesia justru bisa lahir dari hal yang paling "tradisional": desa adat dan wastra. Ya, kain tenun. Tapi bukan kain tenun biasa---ini adalah warisan ribuan tahun, karya tangan-tangan perempuan yang nyaris tak pernah masuk dalam narasi pembangunan nasional.
Desa Adat: Simpanan Emas yang Dibiarkan Berdebu
Desa adat sering dipandang sebagai tempat yang eksotis---bagus untuk latar foto Instagram, bahan promosi pariwisata, atau destinasi proyek CSR. Tapi ketika bicara soal ekonomi nasional? Hampir tak pernah disebut. Padahal, desa adat adalah tempat hidupnya industri kreatif paling organik yang pernah ada. Tidak perlu mesin canggih, tidak perlu pabrik besar. Hanya tangan, benang, dan ketekunan yang nyaris mustahil ditiru oleh AI atau robot.
Kita punya ratusan motif wastra dari Aceh sampai Papua. Masing-masing punya cerita, filosofi, dan teknik yang tak bisa dipelajari lewat YouTube dalam semalam. Tapi, lucunya, justru itu semua kita anggap "kurang modern", "kurang scalable", atau bahkan "tidak menjanjikan". Seolah-olah masa depan ekonomi hanya bisa datang dari coding dan kripto.
Ekonomi Kreatif yang Lupa Akar
Mari jujur. Ketika pemerintah bicara ekonomi kreatif, yang muncul biasanya: gim digital, desain grafis, film, atau kuliner kekinian. Sementara wastra? Paling-paling masuk festival, dijadikan seragam batik hari Jumat, lalu dilupakan sampai musim pemilu berikutnya.
Padahal, dalam teori ekonomi industri, produk berbasis budaya lokal punya keunggulan komparatif yang luar biasa. Ia sulit ditiru, punya pasar niche yang loyal, dan menghasilkan nilai tambah tinggi. Yang kurang bukan potensinya---yang kurang adalah kemauan politik, keseriusan strategi, dan ekosistem yang memadai.
Masalahnya Bukan pada Penenun, Tapi pada Kita
Perempuan-perempuan di desa adat bukan tidak bisa berkembang. Mereka hanya tidak diberi panggung yang layak. Mereka tidak butuh dikasihani, mereka butuh diakui---sebagai pelaku ekonomi yang setara. Sementara itu, tengkulak tetap merajalela, akses ke e-commerce masih minim, dan pelatihan hanya datang sesekali, sebatas menggugurkan kewajiban program.
Apakah pemerintah tidak tahu? Tahu. Apakah kita sebagai akademisi, jurnalis, atau masyarakat peduli? Kadang iya, sering tidak. Kita sibuk mengejar hal besar, tapi lupa bahwa revolusi bisa dimulai dari sehelai kain.