Pendidikan tinggi di Indonesia memikul tanggung jawab besar: bukan hanya mencetak lulusan yang terampil secara teknis, tetapi juga membentuk warga negara yang kritis, beretika, dan demokratis. Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai salah satu perguruan tinggi tertua dan paling berpengaruh di Indonesia, sering dijadikan barometer dalam persoalan ini. Namun, akhir-akhir ini sejumlah dosen UGM menyampaikan kesulitan dalam mengajarkan demokrasi dan etika. Mereka menghadapi kenyataan bahwa kondisi Indonesia kontemporer semakin tidak selaras dengan teori yang diajarkan di kelas. Ketegangan antara norma ideal dan praktik aktual ini menimbulkan dilema pedagogis yang menarik untuk dikaji.
Demokrasi dalam Buku vs Demokrasi dalam Realitas
Secara konseptual, demokrasi di Indonesia dirumuskan dalam kerangka konstitusional: adanya pemisahan kekuasaan, pemilu yang bebas dan adil, perlindungan hak asasi, serta ruang publik yang terbuka. Literatur ilmu politik klasik maupun kontemporer menekankan nilai partisipasi, deliberasi, dan transparansi. Akan tetapi, mahasiswa kini dengan mudah mengakses berita dan media sosial yang menyuguhkan wajah berbeda: maraknya politik uang, pelemahan lembaga pengawas, polarisasi berbasis identitas, serta kebijakan yang tidak konsisten dengan prinsip keadilan sosial.
Ketika dosen menjelaskan tentang check and balance, mahasiswa bisa menimpali dengan contoh nyata bagaimana lembaga negara tidak jarang berfungsi secara timpang. Di sini, pengajaran demokrasi bukan lagi soal menghafal definisi, melainkan soal bagaimana menjelaskan kontradiksi antara "seharusnya" dan "kenyataannya". Jika tidak hati-hati, dosen bisa dianggap naif, normatif, atau justru cenderung sinis.
Etika yang Menjadi Relatif
Hal serupa juga terjadi dalam pengajaran etika. Buku teks filsafat moral membicarakan prinsip utilitarianisme, deontologi, hingga etika kebajikan. Namun mahasiswa hidup dalam ekosistem digital yang sering kali abu-abu: penyebaran hoaks, ujaran kebencian, normalisasi korupsi kecil-kecilan, hingga praktik intoleransi yang dilegalkan oleh kultur mayoritas. Nilai etika yang diajarkan di kelas kerap berhadapan dengan relativisme pragmatis: "semua orang melakukannya, jadi kenapa tidak?" atau "etika tidak relevan kalau aturan mainnya sudah rusak dari atas".
Dosen menghadapi tantangan besar: bagaimana membuat etika tetap bermakna dalam konteks sosial-politik yang seolah mengajarkan hal sebaliknya? Bila etika diperlakukan hanya sebagai teori abstrak, mahasiswa berisiko memandangnya sekadar retorika akademik, bukan pedoman hidup.
Penyebab Kesulitan
Beberapa faktor memperkuat kesenjangan ini. Pertama, digitalisasi mempercepat sirkulasi disinformasi. Mahasiswa sehari-hari mengonsumsi narasi politik yang bias, bahkan konspiratif, sehingga sulit membedakan fakta dari propaganda. Kedua, literasi kritis belum tumbuh merata. Kemampuan untuk menilai informasi, mengidentifikasi kepentingan di balik wacana, dan mengaitkannya dengan prinsip etika masih terbatas.
Ketiga, ada faktor institusional. Kurikulum politik dan etika masih cenderung kognitif: menekankan hafalan konsep, bukan partisipasi aktif. Keempat, dosen menghadapi batas kebebasan akademik. Di tengah iklim politik yang semakin sensitif, kritik eksplisit terhadap praktik kekuasaan bisa menimbulkan konsekuensi personal maupun institusional. Akibatnya, diskusi di kelas menjadi serba hati-hati, bahkan steril.
Dampak terhadap Pendidikan Tinggi
Jika situasi ini dibiarkan, pendidikan demokrasi dan etika kehilangan daya transformasinya. Mahasiswa menjadi apatis, memandang politik sebagai arena yang kotor dan etika sebagai teori tanpa relevansi. Dalam jangka panjang, kualitas kewargaan (civic quality) generasi muda bisa menurun: rendah partisipasi, mudah terjebak polarisasi, dan tidak tahan terhadap manipulasi. Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi benteng justru berisiko menjadi ruang reproduksi skeptisisme.
Strategi Mengatasi Dilema
Pertama, pendidikan demokrasi dan etika perlu diintegrasikan dengan literasi digital. Mahasiswa harus diajak mempelajari cara kerja algoritma media sosial, dampak echo chamber, dan etika komunikasi daring. Dengan begitu, mereka bisa melihat keterkaitan antara teori etika dengan praktik sehari-hari di ruang digital.
Kedua, metode pembelajaran perlu direformasi. Alih-alih ceramah normatif, kelas bisa diisi dengan simulasi sidang parlemen, debat isu publik, atau analisis kasus aktual. Misalnya, membedah kasus kebijakan publik tertentu dengan menggunakan teori demokrasi dan etika. Dengan cara ini, mahasiswa berlatih melihat celah antara ideal dan realitas, sekaligus mencari solusi praktis.
Ketiga, penting menciptakan ruang dialog yang aman. Mahasiswa harus merasa bebas menyampaikan pendapat kritis tanpa takut distigmatisasi. Dosen berperan sebagai fasilitator, bukan pemberi kebenaran tunggal. Dalam tradisi deliberatif, kesadaran akan pluralitas dan perbedaan justru menjadi kekuatan pendidikan etika.
Keempat, perlu ada dukungan kebijakan institusi. Universitas mesti menjamin kebebasan akademik dosen dalam mengajarkan materi sensitif. Perlindungan ini akan memberi rasa aman, sehingga diskusi demokrasi dan etika tidak tereduksi menjadi basa-basi.
Menjembatani Teori dan Praktik
Esensi dari persoalan ini bukanlah membuang teori, melainkan menempatkan teori sebagai lensa kritis untuk membaca realitas. Dosen tidak harus menutup-nutupi cacat demokrasi Indonesia. Justru dengan mengakui kesenjangan itu, mahasiswa belajar bahwa demokrasi dan etika adalah proyek yang terus diperjuangkan, bukan keadaan yang sudah final.
Dalam konteks ini, pengajaran demokrasi dan etika tidak lagi menjadi transfer pengetahuan, melainkan latihan refleksi: bagaimana ideal bisa tetap dijaga meski praktiknya sering mengecewakan. Proses ini menumbuhkan sikap kritis sekaligus realistis. Mahasiswa tidak diarahkan untuk menyerah pada sinisme, tetapi ditantang untuk berkontribusi memperbaiki sistem.
Penutup
Kesulitan dosen UGM dan perguruan tinggi lain dalam mengajarkan demokrasi dan etika adalah cermin dari dinamika bangsa. Ada jurang antara buku teks dan kenyataan, antara ideal dan praktik. Namun, justru di situlah letak pendidikan sejati: mengajarkan keberanian menghadapi kontradiksi, kemampuan berpikir kritis, dan komitmen etis di tengah situasi yang kompleks.
Pendidikan demokrasi dan etika tidak boleh berhenti pada idealisasi yang steril, melainkan harus menumbuhkan kesadaran bahwa demokrasi adalah proses yang penuh ketidaksempurnaan, dan etika adalah perjuangan yang harus diperbarui setiap hari. Jika dosen dan mahasiswa dapat berjalan bersama dalam kesadaran ini, maka kampus akan tetap menjadi ruang yang relevan dan bermakna, meski realitas sosial-politik sering kali melenceng dari teori.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI