Mohon tunggu...
Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Mohon Tunggu... UIN Maulana Malik Ibrahim Malang

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Dilema Akademisi: Mengajarkan Demokrasi dan Etika di Tengah Krisis Realitas

20 September 2025   05:30 Diperbarui: 19 September 2025   22:36 16
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
UGM. (Sumber: ugm.ac.id)

Pendidikan tinggi di Indonesia memikul tanggung jawab besar: bukan hanya mencetak lulusan yang terampil secara teknis, tetapi juga membentuk warga negara yang kritis, beretika, dan demokratis. Universitas Gadjah Mada (UGM) sebagai salah satu perguruan tinggi tertua dan paling berpengaruh di Indonesia, sering dijadikan barometer dalam persoalan ini. Namun, akhir-akhir ini sejumlah dosen UGM menyampaikan kesulitan dalam mengajarkan demokrasi dan etika. Mereka menghadapi kenyataan bahwa kondisi Indonesia kontemporer semakin tidak selaras dengan teori yang diajarkan di kelas. Ketegangan antara norma ideal dan praktik aktual ini menimbulkan dilema pedagogis yang menarik untuk dikaji.

Demokrasi dalam Buku vs Demokrasi dalam Realitas

Secara konseptual, demokrasi di Indonesia dirumuskan dalam kerangka konstitusional: adanya pemisahan kekuasaan, pemilu yang bebas dan adil, perlindungan hak asasi, serta ruang publik yang terbuka. Literatur ilmu politik klasik maupun kontemporer menekankan nilai partisipasi, deliberasi, dan transparansi. Akan tetapi, mahasiswa kini dengan mudah mengakses berita dan media sosial yang menyuguhkan wajah berbeda: maraknya politik uang, pelemahan lembaga pengawas, polarisasi berbasis identitas, serta kebijakan yang tidak konsisten dengan prinsip keadilan sosial.

Ketika dosen menjelaskan tentang check and balance, mahasiswa bisa menimpali dengan contoh nyata bagaimana lembaga negara tidak jarang berfungsi secara timpang. Di sini, pengajaran demokrasi bukan lagi soal menghafal definisi, melainkan soal bagaimana menjelaskan kontradiksi antara "seharusnya" dan "kenyataannya". Jika tidak hati-hati, dosen bisa dianggap naif, normatif, atau justru cenderung sinis.

Etika yang Menjadi Relatif

Hal serupa juga terjadi dalam pengajaran etika. Buku teks filsafat moral membicarakan prinsip utilitarianisme, deontologi, hingga etika kebajikan. Namun mahasiswa hidup dalam ekosistem digital yang sering kali abu-abu: penyebaran hoaks, ujaran kebencian, normalisasi korupsi kecil-kecilan, hingga praktik intoleransi yang dilegalkan oleh kultur mayoritas. Nilai etika yang diajarkan di kelas kerap berhadapan dengan relativisme pragmatis: "semua orang melakukannya, jadi kenapa tidak?" atau "etika tidak relevan kalau aturan mainnya sudah rusak dari atas".

Dosen menghadapi tantangan besar: bagaimana membuat etika tetap bermakna dalam konteks sosial-politik yang seolah mengajarkan hal sebaliknya? Bila etika diperlakukan hanya sebagai teori abstrak, mahasiswa berisiko memandangnya sekadar retorika akademik, bukan pedoman hidup.

Penyebab Kesulitan

Beberapa faktor memperkuat kesenjangan ini. Pertama, digitalisasi mempercepat sirkulasi disinformasi. Mahasiswa sehari-hari mengonsumsi narasi politik yang bias, bahkan konspiratif, sehingga sulit membedakan fakta dari propaganda. Kedua, literasi kritis belum tumbuh merata. Kemampuan untuk menilai informasi, mengidentifikasi kepentingan di balik wacana, dan mengaitkannya dengan prinsip etika masih terbatas.

Ketiga, ada faktor institusional. Kurikulum politik dan etika masih cenderung kognitif: menekankan hafalan konsep, bukan partisipasi aktif. Keempat, dosen menghadapi batas kebebasan akademik. Di tengah iklim politik yang semakin sensitif, kritik eksplisit terhadap praktik kekuasaan bisa menimbulkan konsekuensi personal maupun institusional. Akibatnya, diskusi di kelas menjadi serba hati-hati, bahkan steril.

Dampak terhadap Pendidikan Tinggi

Jika situasi ini dibiarkan, pendidikan demokrasi dan etika kehilangan daya transformasinya. Mahasiswa menjadi apatis, memandang politik sebagai arena yang kotor dan etika sebagai teori tanpa relevansi. Dalam jangka panjang, kualitas kewargaan (civic quality) generasi muda bisa menurun: rendah partisipasi, mudah terjebak polarisasi, dan tidak tahan terhadap manipulasi. Ironisnya, pendidikan yang seharusnya menjadi benteng justru berisiko menjadi ruang reproduksi skeptisisme.

Strategi Mengatasi Dilema

Pertama, pendidikan demokrasi dan etika perlu diintegrasikan dengan literasi digital. Mahasiswa harus diajak mempelajari cara kerja algoritma media sosial, dampak echo chamber, dan etika komunikasi daring. Dengan begitu, mereka bisa melihat keterkaitan antara teori etika dengan praktik sehari-hari di ruang digital.

Kedua, metode pembelajaran perlu direformasi. Alih-alih ceramah normatif, kelas bisa diisi dengan simulasi sidang parlemen, debat isu publik, atau analisis kasus aktual. Misalnya, membedah kasus kebijakan publik tertentu dengan menggunakan teori demokrasi dan etika. Dengan cara ini, mahasiswa berlatih melihat celah antara ideal dan realitas, sekaligus mencari solusi praktis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun