Mohon tunggu...
syafruddin muhtamar
syafruddin muhtamar Mohon Tunggu... Dosen - Esai dan Puisi

Menulis dan Mengajar

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Nuansa 'Ideologis' Puisi untuk Palestina

25 Maret 2024   14:17 Diperbarui: 25 Maret 2024   14:19 60
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

*Disampaikan dalam Diskusi Buku 'Puisi Untuk Palestina', 24 Maret 2024.

Brigade Al-Qassam menghentak publik dunia, 7 oktober 2023. Sebuah serangan tiba-tiba: ratusan roket ditembakkan, berbaris dilangit yang cerah. Melintasi perbatasan tanah Palestina, menyeberang dan tiba ke 'tanah' Istrael, dengan ledakan yang mengejutkan. Diiringi serangan darat mendadak, dari para penerjung payung yang gagah perkasa, menerobos perbatasan. Ribuan orang tewas, dan ratusan tentara zionis, ditahan.

Sebuah peristiwa yang 'melegitimasi keberutalan' negeri zionis, setelahnya. Dan setelahnya adalah perih jiwa raga bagi warga Gaza. Adalah: Genosida atas kelompok manusia, menghancuran atas bumi yang diberkahi, pengusiran manusia dari tanah air kehidupannya, menjadi tinta hitam media publik: melukiskan kematian, kelaparan, penyakit, rasa takut dan ketidakpastian masa depan. 30 ribu lebih sudah jiwa warga Gaza hilang. Sisanya, hidup terluntah-luntah sebagai pengungsi dalam perang. Manusia Gaza, melintasi tanah sejarahnya dibawah langit penuh awan hitam pekat. Gelap dan suram.

Penggal kisah diatas, hinggap beberapa lamanya dibenak, setelah ketua IPMI (Ikatan Penulis Muslim Indonesia) menyodorkan naskah "Puisi Untuk Palestina", untuk dibaca sebagai bahan diskusi.

Sebuah buku kumpulan puisi, ditulis puluhan penyair.  Desain cover dan tataletak isi, yang simple dan menawan. 80 lebih puisi termuat memenuhi ruang isi buku. Dalam catatan pengantar, dinyatakan: Puisi Untuk Palestina adalah Solidaritas Sastra Sulsel untuk Palestina. Suatu wujud aksi sastra perlawanan terhadap zionisme, demi kemerdekaan Palestina. Seketika itu, saya menemukan 'jejak ideologi' dalam buku kumpulan puisi ini.

Kata "solidaritas" dan kata "Palestina", dalam pengantar singkat itu, memantik satu gambar kecil dalam imaji: sebuah kumpulan kaum muslim berdiri tegas, di atas tanah dan diluar Palestina, menunjuk wajah zionisme, sebagai isyarat perlawanan. Karena itu, dua kata tersebut, mengandung konotasi 'politik'.

Politik dalam konteks ini, adalah relasi bangsa Palistina dan negara Israel, dalam perjuangan kemerdekaan melawan penjajah. Karena itu perjuangan kemerdekaan itu, bersifat ideologis. Dan solidaritas kaum muslim atas perjuangan saudara seiman di bumi Palestina, juga bernuansa 'ideologis'.

Sastra "Ideologis"

Sastra sebagai media ungkap, dengan bahasa yang 'berseni', mengandung peluang menjadi media ungkap ideologis. Bahwa, ungkapan yang 'berseni' itu, bersumber dari ragam realitas, dimana sang sastrawan mengambil sumber inspirasi, baik dari kenyataan yang dialami sendiri ataupun diluar pengalaman pribadinya.

Sastrawan terikat oleh kapasitas dirinya untuk 'mengungkapkan' secara 'berseni', pengalamannya atau pengalaman pihak lain. Kapasitas itu, menyangkut keyakinannya, prinsip-prinsip nilai yang dianutnya dan 'biografi kepenyairannya'. Kapasitas itulah yang mewarnai bentuk dan isi 'ungkapan seninya', dalam ragam bentuk ungkap dalam sastra, termasuk dalam hal ini, puisi.

Kita mengambil satu bait dari puisi "Al-Aqsa Palestina". Sang penyair menulis: Allahu Akbar, Allahu Akbar // Seakan Al Aqsa di tengah isak tangisnya tetap menyeru // lantang suara takbir di saat buldozer biadab Israel membabi // buta memangsa Palestina. Pertama, frasa Al-Aqsa Palestina, digunakan sebagai judul. Dapat ditangkap 'maksud' penyair, bahwa bagunan ibadah itu adalah sebuah simbol. Simbol keyakinan, sekaligus simbol perlawanan. Simbol itu 'dihidupkan': sedang berdiri kokoh dan meneriakkan kebesaran Tuhannya, ditengah upaya penguasa Israel 'meruntuhkan' dirinya. Kedua, penyair memperhadap-hadapkan dua 'elemen politis' dalam relasi yang kolonialistik: Israel yang membuldozer membabi-buta dan Palestina sebagai pihak 'termangsa'.

Dengan konteks isi yang sama, puisi "Menunggu Waktu Subuh Di Gerbang Masjid Al-Aqsa", penyairnya menggoreskan pena:   Penantian menjagaku // Di balik gerbang Al-Aqsa berdiri manusia congkak // bersenapan // Jamaah masjid agung dengan kubah hitam berdatangan // Aku ketuk bandul pintunya tanpa rasa takut // Apa harus berlari dari penindasan? Pada bait ini, Al-Aqsa ditampilkan lebih tegas sebagai simbol 'politik perlawanan'. Para jamaah tetap berdatangan tanpa rasa takut, untuk menunjukkan 'hak politik' mereka. Meski dijaga dengan senapan dan kecongkakan, kaum 'pemegang hak politik' itu, tidak akan pernah berlari dari para penindas.

Adalah sulit terhindarkan dari nuansa ideologis ketika menulis topik Palestina secara umum, atau secara khusus, Gaza. Terutama ketika negeri asal-usul para Nabi itu, memasuki era sejarah pasca Deklarasi Balfour, awal abad 19. Sebuah 'kesepakatan' yang berdampak pada proses transplantasi 'kebangsaan Israel' di bumi Palestina, tanpa akar 'nasionalisme'. Bangsa cangkokan itu kemudian berkamuflase secara formal menjadi negara. Pada saat yang sama, 'pemilik sah' tanah itu, begitu 'sulit' diakui eksistensinya sebagai negara, secara pasti.

Jalan 'Jihad'

Pasca deklarasi itu, pejalanan bangsa Palestina adalah pejalanan jihad tiada ujung sejarah. 'Jihad' membebaskan diri  kolonialisasi kaum zionis. Suatu kerja kemanusiaan yang tiada letih, hingga "Janji Abadi" tertunaikan: kemenangan Cahaya atas kegelapan. dan Al-Aqsa kembali utuh kepada yang Haq.

Solidaritas atas jihad bangsa Palestina dalam ragam bentuknya, dari seluruh bangsa-bangsa muslim, juga adalah refleksi dari 'jalan jihad' itu sendiri. Termasuk, ketika para penyair yang menyumbang tulisan puisi-puisi mereka dalam buku Puisi Untuk Palestina, bolehlah dikatakan, mereka sedang menempuh 'jalan jihad' melalui sastra, khususnya dalam bahasa  puitik.

Jika jihad, dimaknai secara umum sebagai jalan perang pisik, maka jalan jihad dalam sastra adalah perang 'ideologi'. Gagasan, keyakinan, prinsip-prinsip, ide dan harapan ideal (kaum muslim), menjadi muatan isi dalam ungkapan puitik, dalam rangka motif: 'pembebasan' Palestina.

Membayangkan: seluruh simbol, tanda dan huruf kebahasan puitik itu, dengan seluruh maknanya, menjelma ribuan roket berhulu ledak 'nuklir hikmah', berbaris rapi, menelurusi awan cerah melintasi benua-benua, menerobos perbatasan Israel, dan dengan 'lembut', menghunjam uluh hati setiap zionis, yang denganya, kaum itu, dipercepat langkahnya menuju 'padang penghukuman' ukhrawi.

SM. 23/3/2024

  

  

 

     

  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun