Mohon tunggu...
Satrio Wahono
Satrio Wahono Mohon Tunggu... magister filsafat dan pencinta komik

Penggemar komik lokal maupun asing dari berbagai genre yang kebetulan pernah mengenyam pendidikan di program magister filsafat

Selanjutnya

Tutup

Politik

Bagaimana Jika Ada Duet Anies - Gibran di Masa Depan?

17 September 2025   11:26 Diperbarui: 17 September 2025   11:26 161
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Kedua, di Indonesia sudah biasa para politisi berubah haluan dan berpisah jalan politik atau berpasangan dengan calon yang mungkin dianggap oleh sebagian konstituen loyal mereka sebagai tidak ideal. Misalnya, siapa sangka Anies Baswedan yang dulu merupakan orang kepercayaan Presiden Jokowi kemudian kini menjadi salah satu simbol kritik paling keras terhadap beliau. Atau, siapa menduga Anies sigap menjadi capres melawan Pak Prabowo dalam pilpres 2024? Lalu, siapa sangka Pak Prabowo dan Pak Jokowi bisa bekerja sama begitu erat?

Ketiga, sesudah vonis MK, pada pilpres 2029 sudah tidak ada hambatan berupa keharusan memiliki koleksi 20 persen kursi DPR sebagai tiket pencalonan. Artinya, setiap partai politik boleh mencalonkan sendiri pasangan capres dan cawapres mereka. Jadi, mudah saja bagi siapa pun, termasuk pasangan Anies - Gibran untuk maju sebagai capres - cawapres.

Keempat, suka tidak suka, kita harus mengakui Gibran bersama sang ayah, mantan Presiden Jokowi, masih merupakan kekuatan politik besar yang patut diperhitungkan. Perlu diingat bahwa Presiden Jokowi tidak pernah kalah dalam setiap kontestasi yang beliau ikuti, mulai dari pemilihan walikota, gubernur, presiden, hingga pengendorsean calon presiden. Dipadukan dengan sosok Anies Baswedan sebagai tokoh perubahan, duet Anies - Gibran jelas punya potensi kemenangan yang menakjubkan.

Kelima, dalam sejarah politik Indonesia, hubungan antara aktor politik adalah sesuatu yang cair. Juga, sesuatu yang lebih diabdikan untuk tujuan pragmatis kekuasaan, ketimbang retorika tujuan etis maupun ideologis. Maka itu, segala hambatan etis maupun ideologis yang ada di masa lalu biasanya akan lebih mudah tercairkan atas nama kemenangan.

Hikmah

Tentu saja, skenario di atas hanya pengandaian, yang bisa benar tapi bisa juga tidak. Saya sih berharapnya tidak. Sebab, saya justru mendambakan pihak-pihak yang berseberangan terus demikian dalam kontestasi politik supaya ada kontras dan dinamika maupun dialektika pertukaran gagasan yang mengasyikkan dan mencerahkan.

Namun jika memang kejadian, ada satu hikmah yang bisa kita petik: jangan terlalu fanatik mendukung satu tokoh politik,apalagi sampai berujung pada konflik dengan orang terdekat kita atau sampai berujung pada permasalahan hukum. Pasalnya, mereka yang kita dukung sepenuh hati pun bisa jadi pada akhirnya menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai mulia yang kita persepsikan sedang kita bela.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun