Iya, Anda tidak salah membaca judul artikel ini. Bagaimana jika pada pemilihan presiden (pilpres) 2029, dua tokoh yang selama ini dianggap berseberangan, yaitu Anies Baswedan dan wakil presiden saat ini Gibran Rakabuming Raka, maju satu paket sebagai pasangan capres dan cawapres?
Wah, nggak bakal mungkin, mustahil, ngayal, dan beraneka rupa suara sinis mungkin terlontar merespons skenario imajinatif di atas. Anies kan lebih cocok dengan Tom Lembong atau tokoh progresif A, B, C, dan sebagainya. Atau, Gibran palingan mencalonkan diri bersama Pak Prabowo lagi. Lagi pula, Anies kan sekarang terkenal sangat kritis terhadap ayah Gibran, mantan presiden Joko Widodo. Anies juga keras mengkritik vonis Mahkamah Konstitusi yang memuluskan langkah Gibran menjadi cawapres pada pilpres 2024, sebuah vonis yang ditengarai sarat kepentingan politis dan problematik secara etis.
Semua mungkin
Namun, ini Indonesia bung. Semua skenario mungkin terjadi dalam politik kita. Dulu saja, pak Jusuf Kalla yang sering mengkritik pak Jokowi sebagai gubernur yang mau nyapres ujung-ujungnya mau berpasangan dengan pak Jokowi sebagai wapres. Atau, K.H Ma'ruf Amin yang berseberangan dengan Presiden Jokowi dalam kasus penistaan agama Gubernur Jakarta Basuki Tjahaya Purnama justru kemudian menjadi wapres Pak Jokowi.
Masih segar juga dalam ingatan kita betapa Partai Demokrat dalam pilpres langsung balik badan mendukung pasangan Prabowo - Gibran ketika Anies akhirnya berpasangan dengan Muhaimin Iskandar. Pemasangan Anies dan Muhaimin juga mengagetkan karena Muhaimin sebelumnya merapat di barisan pendukung Pak Prabowo.
Yang lebih mengejutkan dan super spektakuler adalah bergabungnya Prabowo Subianto menjadi Menteri Pertahanan Presiden Jokowi pada periode 2019 - 2024. Padahal sebelumnya Prabowo bersaing keras dengan Pak Jokowi dalam dua kontestasi pilpres yang ultra panas pada 2014 dan 2019. Bahkan, Presiden Jokowi kemudian memutuskan untuk mendukung mantan seterunya ini dalam pilpres 2024, yang sekaligus meninggalkan partai tempat beliau menjadi kader, yaitu PDI Perjuangan.
Sesudah bergabungnya Prabowo ke kabinet Presiden Jokowi, saya langsung merasa tidak ada yang tidak mungkin dalam politik Indonesia yang memang terkenal sangat cair, pragmatis, dan tidak mengedepankan faktor ideologis.
Faktor-faktor logis
Apalagi ada sejumlah faktor logis yang, jika bereskalasi dalam tiga-empat tahun ke depan, bisa membuat skenario perangsang intelektualitas (intellectual exercise) pasangan Anies - Gibran menjadi mungkin.
Pertama, belum ada setahun menjabat sudah ada tanda orang tidak memandang pasangan Prabowo - Gibran sebagai satu paket. Â Misalnya, kelompok para purnawirawan ABRI/TNI selama ini gencar mendesak pemakzulan Gibran, tapi tidak pemakzulan junior mereka sesama tentara, yaitu Presiden Prabowo.
Selain itu, terlihat kritik tajam sering dilontarkan sebagian masyarakat pada Gibran, tapi kurang pada Presiden Prabowo. Jika persepsi ini tidak dikelola dengan baik, hubungan tidak harmonis di antara Presiden dan Wakil Presiden mungkin saja terjadi di masa depan. Dan ini akan menjadi benih bagi keputusan keduanya menempuh jalan masing-masing pada pilpres 2029.
Kedua, di Indonesia sudah biasa para politisi berubah haluan dan berpisah jalan politik atau berpasangan dengan calon yang mungkin dianggap oleh sebagian konstituen loyal mereka sebagai tidak ideal. Misalnya, siapa sangka Anies Baswedan yang dulu merupakan orang kepercayaan Presiden Jokowi kemudian kini menjadi salah satu simbol kritik paling keras terhadap beliau. Atau, siapa menduga Anies sigap menjadi capres melawan Pak Prabowo dalam pilpres 2024? Lalu, siapa sangka Pak Prabowo dan Pak Jokowi bisa bekerja sama begitu erat?
Ketiga, sesudah vonis MK, pada pilpres 2029 sudah tidak ada hambatan berupa keharusan memiliki koleksi 20 persen kursi DPR sebagai tiket pencalonan. Artinya, setiap partai politik boleh mencalonkan sendiri pasangan capres dan cawapres mereka. Jadi, mudah saja bagi siapa pun, termasuk pasangan Anies - Gibran untuk maju sebagai capres - cawapres.
Keempat, suka tidak suka, kita harus mengakui Gibran bersama sang ayah, mantan Presiden Jokowi, masih merupakan kekuatan politik besar yang patut diperhitungkan. Perlu diingat bahwa Presiden Jokowi tidak pernah kalah dalam setiap kontestasi yang beliau ikuti, mulai dari pemilihan walikota, gubernur, presiden, hingga pengendorsean calon presiden. Dipadukan dengan sosok Anies Baswedan sebagai tokoh perubahan, duet Anies - Gibran jelas punya potensi kemenangan yang menakjubkan.
Kelima, dalam sejarah politik Indonesia, hubungan antara aktor politik adalah sesuatu yang cair. Juga, sesuatu yang lebih diabdikan untuk tujuan pragmatis kekuasaan, ketimbang retorika tujuan etis maupun ideologis. Maka itu, segala hambatan etis maupun ideologis yang ada di masa lalu biasanya akan lebih mudah tercairkan atas nama kemenangan.
Hikmah
Tentu saja, skenario di atas hanya pengandaian, yang bisa benar tapi bisa juga tidak. Saya sih berharapnya tidak. Sebab, saya justru mendambakan pihak-pihak yang berseberangan terus demikian dalam kontestasi politik supaya ada kontras dan dinamika maupun dialektika pertukaran gagasan yang mengasyikkan dan mencerahkan.
Namun jika memang kejadian, ada satu hikmah yang bisa kita petik: jangan terlalu fanatik mendukung satu tokoh politik,apalagi sampai berujung pada konflik dengan orang terdekat kita atau sampai berujung pada permasalahan hukum. Pasalnya, mereka yang kita dukung sepenuh hati pun bisa jadi pada akhirnya menunjukkan perilaku yang tidak sesuai dengan nilai-nilai mulia yang kita persepsikan sedang kita bela.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI