Mohon tunggu...
Suyito Basuki
Suyito Basuki Mohon Tunggu... Menulis untuk pengembangan diri dan advokasi

Pemulung berita yang suka mendaur ulang sehingga lebih bermakna

Selanjutnya

Tutup

Cerbung Pilihan

Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 5)

26 Mei 2024   10:03 Diperbarui: 12 September 2024   08:21 371
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 Di Sebalik Srikandi-Bisma (Episode 5)

Oleh: Suyito Basuki

Ruang joglo, gamelan pelog dan slendro lengkap,  ada geber (layar) wayang di tengah ruangan. Hari Minggu siang hari.  Lancaran Manyar Sewu bergema, Bagas dan teman-temannya berlatih menabuh.  Bagas memegang kendang.  Ki Sutejo duduk bersila, mengawasi anak-anak yang sedang latihan.  Gending suwuk antal. 

 "Ini tadi gending lancaran Manyar Sewu laras slendro pathet enem.  Masih ada banyak lancaran yang akan kita pelajari, baik yang bertiti laras slendro maupun pelog.  Setelah lancaran nanti akan kita pelajari gendhing ladrangan," Ki Sutejo berdiri di depan Bagas dan kawan-kawan, membelakangi papan tulis.

Bagas bertanya,"Lancaran Manyar Sewu ini di dalam pewayangan bagaimana penempatannya pak?"

"Lancaran Manyar Sewu ini dapat digunakan untuk iringan budhalan wadya bala.  Misalnya wadya bala Astina yang mau pergi ke suatu tempat, lancaran ini dapat ditabuh, dengan sebelumnya dhalang meminta dengan kata kunci:...yen sinawang saking mandrawa, kadya kukila manyar sewu cacahe..." jawab Ki Sutejo pengajar atau disebut dwija sekolah pedhalangan di kraton di mana Bagas sedang belajar.

Bagas masih bertanya,"Kendangannya pakai kendang ketipung sama kendang bem atau ageng saja Pak?"

Ki Sutejo menjawab,"Ya, sementara itu dulu, minggu depan saya tambahi dengan kendangan batangan.  Yang penting Mas Bagas mencoba menghafal kendangan tersebut.  Coba ditabuh," perintahnya.

Bagas menabuh kendang.  Fitri masuk membawa masuk dengan gelas-gelas berisi teh hangat.   Teman-teman Bagas memperhatikan gadis cantik dengan rambut sebahu itu.  Sambil menabuh, Bagas melirik.  Ki Sutejo tanggap hal itu, dia berdehem.  Bagas salah dalam menabuh.

Ki Sutejo berkata sambil tersenyum,"Ayo, mas Bagas, penabuh kendang itu perlu konsentrasi penuh.  Kendang adalah penuntun tabuhan lainnya.  Kendang dapat membuat cepat atau lambatnya suatu irama.   Jika kendang salah, bisa tidak karuan tabuhan lainnya."

 "Eh iya, maaf Pak," Bagas berkata dengan perasaan bersalah.

Ki Sutejo memerintah,"Coba lafalkan pukulan kendang dengan ucapan bibir."

Bagas melakukan perintah gurunya. Memukul kendang bem (besar) dan ketipung dengan telapak tangan kanannya.

Tung tak tung tung tung dang tung tung tung dang tung tung tung dang tung tung tung 

Tung tak tung tung tung dang tung tung tung dang tung tung tung dang tung tung tung 

Tung tak tung tung tung dang tung tung tung dang tung tung tung dang tung tung tung 

Tung tak tung tung tung dang tung tung tung dang tung tung dang tak tung dang tak tung  tung tung tung  tung

Tak tak tung dang tak tung tung tung gong 

Ki Sutejo memuji Bagas dan juga berucap kepada para penabuh,"Bagus.  Yang lain-lain tolong menghafal notasi dengan baik. Tabuhan demung, siapa itu yang pegang?"

Teman-teman Bagas serentak menajawab,"Joko pos pak..."

Ki Sutejo berkata dengan suara tegas,"Mas Joko jangan sampai ragu-ragu.  Ini gendhing irama soran.  Jangan takut nabuh sero atau keras.  Perlu diingat bahwa demung itu bebahuning gendhing, atau tulang punggungnya gendhing.  Demung menjadi penuntun tabuhan yang lain seperti saron, peking, kenong dan lain-lain."

"Inggih pak," jawab Joko

"Ingatlah pepatah Jawa ini: bisane amarga kulina, pintere amarga sinau...  Prinsip praktek dan menabuh setiap ada kesempatan dan dilakukan secara rutin, sangat menentukan penguasaan gendhing-gendhing.  O ya, mari silakan minum sambil istirahat, nanti kita lanjutkan tabuhannya," Ki Sutejo memberi nasihat.

Fitri mengintip Bagas dan teman-temannya yang sedang istirahat dan mengobrol ringan.  Fitri dikagetkan dengan kedatangan adiknya.

"Hayo, mbak Fitri lagi ngapain?" Danang berkata sambil menyentuh pundak mbakyunya

Fitri kaget,"Ngopo to ya, ngaget-ngageti uwong wae.  Bikin aku terkejut saja.  Itu lho, lagi ngitung berapa orang sih yang lagi nabuh gamelan.  Jangan-jangan air tehnya kurang."

Danang meledek,"Ya ngitungnya tadi, bukan sekarang.  Eh, siswa Bapak yang namanya Bagas itu ganteng lho mbak."

Fitri menghalau,"Hush, sana-sana."

Fitri melambaikan tangan isyarat menyuruh adik kandungnya menjauhinya.  Sementara adiknya meledeknya.  Nyi Sutejo datang.  Melerai pertengkaran mereka.

Nyi Sutejo menghardik,"Apa-apaan ini, kok rasanya tidak ada hari tanpa pertengkaran."

Fitri mengadu,"Ini lho bu, adik nggoda aku terus."

Danang membela diri,"Mboten dhing bu, mbak Fitri yang terlalu ge-er gegedhen rumangsa"

Nyi Sutejo menengahi,"Sudahlah ada apa sih sebenarnya?"

Fitri merajuk,"Danang bu yang nakal."

Danang berkata, sambil matanya dijulingkan dan lidah dijulurkan,"Mbak Fitri bu yang ge-er."

Nyi Sutejo bingung.  Terdengar panggilan Ki Sutejo pada anaknya,"Fitriii..."

Fitri masuk.  Semua mata penabuh yang lagi latihan mengikuti masuknya gadis itu, tak terkecuali Bagas.

Ki Sutejo berkata,"Iki piye to 'ndhuk, mas-masnya semua dikasih teh kok bapak malah tidak dikasih.  Nggak sayang sama bapak ya sekarang?"

Fitri berekspresi muka kaget,"Ups, bapak belum to?"

Ki Sutejo berkata sambil menengadahkan ke dua telapak tangan ke depan,"Lha endi?  Wong ngga ada gelas di depan saya gitu kok."

Bagas dan teman-temannya tersenyum sambil bersenggol-senggolan.  Pandangan mereka nakal terhadap Fitri.

Fitri merasa bersalah,"Wah, nyuwun ngapunten, kesupen kula rama.  Wah maaf, saya betul-betul lupa."

Joko ikut menimpali,"Kula nggih dereng Mbak.  Saya juga belum." Semua mata melihatnya.

Fitri menengok ke arah Joko yang bersila di barisan belakang menghadapi demung,"Wah mas belum dapat teh juga to?"

Joko langsung menyahut,"Nganu, belum dua gelas mbak." Semua pada tertawa.  Fitri beranjak ke dalam sambil tersipu.

Ki Sutejo kemudian berkata,"Mangga, istirahat mungkin cukup.  Kita mulai menabuh lancaran Manyar Sewu lagi dengan buka bonang, setelah itu kita belajar nabuh ladrang Grompol." Ki Sutejo memberi aba-aba ketukan, lalu berkumandanglah lancaran Manyar Sewu memenuhi area udara joglo dan rumah-rumah sekitar.

 (Bersambung)

 

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun