S. Arimba menambahkan bahwa komunitas sastra seperti SBP berperan penting dalam membangun legitimasi seorang penyair.Â
Legitimasi kepenyairan setidaknya muncul dalam tiga bentuk; diakui oleh sesama penyair, dikenal oleh publik, dan diakui oleh lembaga atau institusi resmi.
SBP menjadi ruang pertemuan ketiganya---tempat penyair menegaskan eksistensinya sekaligus memperluas jejaring sastra.
Baca juga: Sastra Bulan Purnama: Mencipta Kehangatan di Museum Sandi
Diskusi yang semakin menghangat di tengah derasnya hujan juga menyinggung perubahan wajah sastra masa kini. Menurut Mahmud, batas antara "sastra serius" dan "sastra populer" semakin kabur.
Sementara Mulyadi, penyair asal Surabaya, berpendapat bahwa penyair masa kini lebih banyak lahir dari kantong-kantong seni, bukan dari ruang akademik.
"Sekarang sastrawan yang membesarkan sastra, bukan sastrawan yang dibesarkan oleh sastra. Banyak penyair hidup dari profesinya, bukan dari puisinya," ujarnya.
Baca juga: Gunung Andong: Surga Kecil yang Dirindukan
Fenomena ini menunjukkan bahwa sastra telah mengalami pergeseran menjadi bagian dari gaya hidup kreatif, di mana komunitas seperti SBP menjadi wadah penting untuk mempertahankan nilai, arah, dan makna sastra itu sendiri.
Banyak pihak menyambut baik Komunitas SBP yang tetap konsisten. Penyair Isbedy Setiawan ZS menyebut, tak banyak sebuah komunitas bisa bertahan lama. SBP bertahan 14 tahun karena dikelola baik. Jika tidak, niscaya sudah lama mati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI