Acara Bincang Komunitas dan Puisi digelar di Museum Sandi, Yogyakarta, Sabtu (11/10/2025). Kegiatan ini menghadirkan dua narasumber, Suharmono Arimba dan Sulis Bambang, serta dimoderasi oleh Joshua Igho. Bersamaan dengan ulang tahun Sastra Bulan Purnama yang ke-14 tahun.
Diskusi ini menjadi ajang refleksi atas perjalanan panjang komunitas sastra, terutama kiprah Sastra Bulan Purnama (SBP) yang selama 14 tahun konsisten mewadahi penulis dan penyair lintas generasi.
Pada masa lalu, publikasi karya sastra bergantung sepenuhnya pada media cetak dan keputusan redaktur. Kini, melalui media sosial, siapa pun dapat menulis dan menyebarkan karya secara bebas. Namun, kebebasan ini juga menimbulkan pertanyaan baru tentang kualitas dan kurasi karya sastra.
Berawal dari kegelisahan terhadap hal itu, Ons Untoro menggagas lahirnya Sastra Bulan Purnama (SBP) pada tahun 2013. Acara ini pertama kali digelar di Tembi Rumah Budaya, menghadirkan para penulis dan penyair senior era 1960--1970-an. Meski sempat mendapat kritik dari berbagai pihak, SBP terus berproses dan berkembang menjadi salah satu komunitas sastra paling konsisten di Yogyakarta.
Kini, setelah 14 tahun berjalan, SBP tidak hanya menggelar pembacaan puisi, tetapi juga menerbitkan buku, mengadakan diskusi rutin, serta menyiarkan kegiatan secara daring.
Menurut Lis Wijayanti yang mewakili Dr. Harris Susanto - Direktur Utama PT Luas Birus Utama, salah satu penyokong utama kegiatan Sastra Bulan Purnama; kekuatan komunitas ini terletak pada kebersamaan.Â
"Ons tidak mungkin berjalan sendiri. Satu orang akan lelah, tapi karena ada teman-teman yang menopang, SBP tetap tegak berdiri," ujarnya.
PT LBU akan memberikan dukungan secara berkesinambungan kepada Sastra Bulan Purnama, agar dapat terus mengawal pengembangan dan penguatan literasi.
Lis juga menuturkan rasa bahagianya dapat bertemu langsung dengan para sastrawan dan penyair dalam setiap kegiatan SBP.
Setelah beberapa tahun berlangsung di Tembi, kini kegiatan SBP berpindah ke Museum Sandi, yang memberikan dukungan penuh dan kebebasan bagi komunitas untuk menggunakan ruangnya sebagai tempat ekspresi.
Konsistensi yang Melahirkan Legitimasi
Narasumber Suharmono Arimba mengapresiasi konsistensi SBP, terutama dalam menerbitkan buku-buku antologi puisi. Pada peringatan ulang tahun ke-14, SBP meluncurkan buku "Empat Belas Purnama", yang menghimpun karya 136 penyair.
"Awalnya ada lebih dari 200 penyair yang mengirimkan karya, tetapi setelah proses kurasi, terpilih 136. Artinya buku ini terkurasi dengan baik," jelasnya.
Ia menambahkan, karya sastra yang diterbitkan melalui media sosial sering kali kurang terkurasi, sementara penerbitan buku secara fisik menjadi bentuk validasi dan legitimasi tersendiri bagi penyair.
Baca juga: Memulai Hidup di Usia Pra-lansia
Sedangkan menurut Sulis Bambang, setiap orang berhak ambil bagian dalam dunia sastra, mengutip kata-kata Chairil Anwar, "Bukan penyair saja yang boleh ambil bagian."
Namun ia mengingatkan bahwa regenerasi dalam komunitas sastra perlu mendapat perhatian serius.
"SBP ini unik karena tetap terbuka untuk siapa saja. Tetapi ke depan, penting untuk menyiapkan generasi penerus agar semangat sastra tidak padam," ujarnya.
Hal senada disampaikan Suharmono Arimba. Ia menilai perlu adanya wadah yang lebih kokoh, misalnya pembentukan yayasan atau program penghargaan sastra agar komunitas ini terus hidup dan mampu menarik minat generasi muda.
S. Arimba menambahkan bahwa komunitas sastra seperti SBP berperan penting dalam membangun legitimasi seorang penyair.Â
Legitimasi kepenyairan setidaknya muncul dalam tiga bentuk; diakui oleh sesama penyair, dikenal oleh publik, dan diakui oleh lembaga atau institusi resmi.
SBP menjadi ruang pertemuan ketiganya---tempat penyair menegaskan eksistensinya sekaligus memperluas jejaring sastra.
Baca juga: Sastra Bulan Purnama: Mencipta Kehangatan di Museum Sandi
Diskusi yang semakin menghangat di tengah derasnya hujan juga menyinggung perubahan wajah sastra masa kini. Menurut Mahmud, batas antara "sastra serius" dan "sastra populer" semakin kabur.
Sementara Mulyadi, penyair asal Surabaya, berpendapat bahwa penyair masa kini lebih banyak lahir dari kantong-kantong seni, bukan dari ruang akademik.
"Sekarang sastrawan yang membesarkan sastra, bukan sastrawan yang dibesarkan oleh sastra. Banyak penyair hidup dari profesinya, bukan dari puisinya," ujarnya.
Baca juga: Gunung Andong: Surga Kecil yang Dirindukan
Fenomena ini menunjukkan bahwa sastra telah mengalami pergeseran menjadi bagian dari gaya hidup kreatif, di mana komunitas seperti SBP menjadi wadah penting untuk mempertahankan nilai, arah, dan makna sastra itu sendiri.
Banyak pihak menyambut baik Komunitas SBP yang tetap konsisten. Penyair Isbedy Setiawan ZS menyebut, tak banyak sebuah komunitas bisa bertahan lama. SBP bertahan 14 tahun karena dikelola baik. Jika tidak, niscaya sudah lama mati.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI