Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Membingkai Demonstrasi dalam Kerangka Dramaturgi Bursa Politik

1 September 2025   21:01 Diperbarui: 1 September 2025   19:21 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Suara rakyat kembali menggelegar di jalanan: ban terbakar, spanduk terbentang, dan orasi penuh amarah. Di istana, bendera merah putih berkibar gagah, parade militer berjalan megah, pidato kenegaraan bergema lantang. Dua panggung, dua lakon, satu bangsa—namun dengan narasi yang bertolak belakang. Pertanyaannya: pertunjukan mana yang benar-benar mewakili wajah demokrasi kita?

Artikel ini hendak mengajak pembaca melihat demonstrasi bukan sekadar peristiwa politik, melainkan sebuah pertunjukan sosial.  Dengan memakai teori dramaturgi Erving Goffman, kita bisa membayangkan politik sebagai panggung besar: ada aktor, naskah, properti, penonton, dan panggung belakang. Demonstrasi pun tampil sebagai lakon teater, di mana spontanitas rakyat berpadu dengan kalkulasi elite, menghasilkan drama yang penuh simbol sekaligus penuh intrik.

Dramaturgi memberi kita alat untuk membedakan mana yang ditampilkan di "front stage"--panggung depan yang penuh simbol, slogan, dan gestur publik—dengan apa yang sebenarnya terjadi di "back stage, yaitu ruang belakang yang penuh negosiasi, tawar-menawar, dan distribusi keuntungan politik. Dengan perspektif ini, kita bisa membedah demonstrasi sebagai ritual politik yang mengartikulasikan aspirasi sekaligus strategi kekuasaan.

Artinya, demonstrasi bukan hanya wadah murni ekspresi rakyat, tetapi juga arena perebutan makna dan kekuasaan. Spontanitas dan kemarahan memang nyata, lahir dari keresahan sehari-hari yang tak bisa ditampung institusi formal. Namun, energi spontan itu hampir selalu ditunggangi, diarahkan, atau bahkan dimanfaatkan oleh aktor-aktor politik yang lihai memainkan dramaturgi.

Dengan demikian, artikel ini tidak hendak meromantisasi demonstrasi sebagai suara rakyat sepenuhnya, tapi juga tidak serta-merta menolaknya sebagai akal-akalan elite. Ia justru menempatkan demonstrasi dalam ketegangan permanen antara keaslian ekspresi rakyat dengan rekayasa politik yang menyusupinya.

Pendekatan dramaturgi memungkinkan kita membaca demonstrasi sebagai panggung ganda: panggung rakyat yang penuh improvisasi emosional, dan panggung elite yang penuh kalkulasi strategis. Ketegangan antara keduanya itulah yang membentuk drama politik Indonesia pasca HUT RI ke-80,  bukan hanya menyoal siapa yang turun ke jalan, tetapi siapa yang sebenarnya menulis naskah di balik semua hiruk pikuknya.

Munculnya Panggung Ganda 

Ibarat pertunjukan, peringatan HUT RI ke-80 menjadi panggung raksasa yang menyatukan seluruh bangsa Indonesia. Di panggung utama, kita melihat upacara kenegaraan, parade militer, pidato simbolis, serta bendera merah putih yang berkibar gagah. Semuanya tampak berada dalam sebuah pertunjukan teater agung yang menampilkan narasi persatuan. Namun, di panggung alternatif, yaitu jalan-jalan utama di kota besar, justru berlangsung pertunjukan drama yang berbeda: asap ban terbakar, spanduk perlawanan, serta massa dan orasi penuh amarah. Dua pertunjukan  berlangsung relatif serentak, saling timpang namun sama-sama mengklaim representasi rakyat.

Jika memakai kacamata dramaturgi, kita bisa melihat panggung perayaan dan panggung protes sebagai dua “teater” yang berebut penonton. Negara memainkan naskah tentang stabilitas, persatuan, dan pencapaian, sementara massa protes menulis naskah tandingan tentang kekecewaan, ketidakadilan, dan perlawanan. Penonton—yaitu masyarakat luas—dipaksa menonton dua lakon sekaligus, lalu menentukan makna yang paling meyakinkan bagi mereka.

Dalam perspektif antropologi politik, perayaan kemerdekaan sejatinya adalah ritus kolektif untuk memperbarui legitimasi negara. Namun ritus ini bisa dengan mudah diretas oleh aksi tandingan, di mana (sebagian) rakyat membangun panggung oposisi. Ritual negara yang dirancang sakral tiba-tiba terkontaminasi dengan ritual protes yang menantang narasi resmi. Inilah bentuk “ritual kompetitif” yang sering muncul di masyarakat demokratis.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun