Mohon tunggu...
Sultani
Sultani Mohon Tunggu... Pemerhati Isu-isu Pangan Lokal, mantan Peneliti Litbang Kompas

Senang menulis isu-isu pangan, lingkungan, politik dan sosbud kontemporer.

Selanjutnya

Tutup

Politik Artikel Utama

Arogansi yang Memicu Api Pemakzulan: Kronik Kejatuhan Bupati Pati

14 Agustus 2025   15:06 Diperbarui: 18 Agustus 2025   07:27 261
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi Bupati Pati, Sudewo ketika berorasi di hadapan aksi massa warganya sendiri (Sumber: Kompas.com)

Ketika seorang penguasa menantang rakyatnya sendiri, legitimasi --yang seharusnya kokoh-- mendadak goyah tak tertahankan. Di Pati, Jawa Tengah, kisah Bupati Sudewo adalah cerita tentang bagaimana arogansi penguasa memancing perlawanan rakyat, hingga berujung terkoyaknya kekuasaan oleh rakyat sendiri. Kejatuhan Bupati Sudewo di hadapan rakyatnya sendiri memberi pesan yang tajam dan nyata: kekuasaan arogan, bahkan yang didapat lewat proses demokratis sekalipun, bisa runtuh ketika kehilangan legitimasi rakyat. Pesan bagi penguasa: “Mandat demokratis” bukan jaminan kebal kritik. Kuasa tanpa empati dan komunikasi dengan publik adalah bom waktu politik.

Prolog: Arogansi dari Pajak PBB 250 Persen
Hari itu, pertengahan Mei 2025, ruang rapat di Pendopo Kabupaten Pati dipenuhi pejabat dengan map-map tebal di meja. Bupati Sudewo, dengan nada percaya diri, mengumumkan kebijakan kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan (PBB-P2) hingga 250 persen. Alasannya, seperti tertulis dalam dokumen resmi, adalah untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah yang dinilai stagnan.

Kebijakan ini memicu protes awal dari kelompok petani, pedagang kecil, dan lapisan masyarakat yang paling rentan. Angka yang dipatok bupati itu terdengar seperti tamparan keras bagi petani yang baru saja keluar dari krisis harga gabah, pedagang kecil yang omzetnya baru mulai merangkak naik, hingga keluarga kelas menengah yang selama ini menjadi pembayar pajak patuh. Kenaikan tarif pajak hingga dua kali lipat lebih tersebut membuat mereka semua merasakan ancaman beban baru yang akan memukul mereka kelak. 

Dalam situasi yang rentan ini, langkah Bupati Sudewo dianggap tidak sensitif sekaligus sembrono. Narasi pemerintah daerah yang menekankan "kepentingan pembangunan" kehilangan resonansinya karena rakyat merasa pembangunan itu dibayar dari kantong mereka yang sudah menipis. Dalam diskusi warung kopi dan grup WhatsApp warga, kata "pajak" mulai diucapkan beriringan dengan kata "zalim". Pasalnya, Sudewo tidak memberikan jeda atau transisi yang bisa meredam dampak kejut bagi masyarakat. Tidak ada mekanisme kompensasi, tidak ada program peredam beban, seolah rakyat diminta menerima saja.

Dari sudut pandang politik, kebijakan ini adalah titik awal retaknya relasi antara penguasa dan yang dikuasai. Dalam teori kontrak sosial, legitimasi pemimpin lahir dari kemampuan menyeimbangkan kebutuhan fiskal negara dengan kepentingan rakyat. Kenaikan PBB-P2 yang drastis adalah sinyal kegagalan mengelola keseimbangan itu. 

Bagi sebagian pengamat, inilah bentuk awal "arogansi kebijakan"--ketika pemerintah percaya bahwa kepentingan pembangunan bisa menjadi pembenaran tunggal, tanpa mempertimbangkan daya tahan psikologis dan finansial masyarakat.

Dalam konteks Pati, kenaikan pajak ini tidak berdiri sendiri; ia bersinggungan dengan memori kolektif warga tentang sejumlah kebijakan daerah yang sebelumnya dianggap elitis dan tidak pro-rakyat. Kebijakan ini menjadi bahan bakar yang menguapkan simpati publik terhadap sang bupati.

Dan sebagaimana yang kerap terjadi dalam sejarah perlawanan rakyat, kebijakan yang dianggap tak adil menjadi katalis pembentukan jaringan perlawanan. Di Pati, kebijakan fiskal yang dianggap sewenang-wenang tersebut telah memantik percikan perlawanan rakyat. Awalnya memang masih kecil, hanya berupa bisik-bisik di warung kopi dan keluhan di grup WhatsApp warga.

Namun, bara yang disulutnya terus menyala dan menjalar dengan cepat hingga warga mulai membicarakan aksi protes, meskipun baru di lingkaran terbatas. Percikan yang awalnya terlihat kecil perlahan-lahan menumbuhkan benih perlawanan yang terus-menerus diprovokasi hingga meledak menjadi gerakan besar.

Provokasi Publik: Tantangan yang Mengundang Badai

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun