Mohon tunggu...
Ranggamos
Ranggamos Mohon Tunggu... Lainnya - ****

believe me, sometimes reality is stranger—and much more frightening—than fiction

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Pendongeng Anak Lelaki

12 April 2017   03:34 Diperbarui: 12 April 2017   16:30 353
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku pernah menyaksikan kisah tentang seorang anak lelaki, sebagai seorang pendongeng maka akan kusampaikan kepada kalian. Aku tahu kalian sudah jengah tentang dongeng-dongeng yang kuceritakan sebelumnya, tanpa memaksa, biarlah pilihan untuk mendengar atau acuh kuserahkan kepada kalian.

Anak lelaki ini, yang tak dapat kusebutkan namanya, karena bila kisah ini meluas dan sampai ke telinganya, tak maksud aku hendak menyakiti perasaannya. Adalah anak yang dipanggil dukun kecil oleh warga desa. Kok bisa? Karena itulah kuharap kalian menyimak kisah yang hendak kusampaikan ini.

Gelar dukun kecil tidak semata-mata disematkan tanpa sebab, lantaran ia adalah seseorang yang menurunkan hujan ketika kemarau panjang hampir mengkandaskan panen, dirinya pula yang menyibak awan hitam menggantung hingga sinar matahari mengeringkan genangan air yang bisa saja merendam bawang-bawang, ubi-ubian, kunyit-kunyit serta seluruj hasil ladang ketika musim penghujan merengek tak henti-henti. Ia banyak menghabiskan hari demi hari di galengan sawah, ladang dan sesekali hutan jati di kaki bukit desa, bila nampak dirinya, tak satupun tikus-tikus, belalang, burung-burung pipit mengusik sawah dan ladang, hama-hama perusak sumber penghasilan banyak warga dan juga tengkulak.

Karena kepiawaiannya lah banyak warga menabikannya, namun atas sergah uztad setempat menabikan seseorang adalah perbuatan sesat karena Alquran menjelaskan kenabian sudah terhenti pada nabi terkahir, maka jadilah ia dukun kecil kesayangan warga. Berangkat dari hal tersebut, aku, sebagai pendongeng berusaha mencari tahu asal muasal mukjizat yang ia miliki, seluk beluk keluarga dan saudara-saudaranya, sayang, penggalian informasiku tidak membuahkan. Yang kutahu rumahnya hanya sisa-sisa runtuhan yang sudah lama ambruk termakan usia. 

Saudara-saudaranya tak satupun yang tinggal di desa, mungkin pindah ke kota, menyebrang provinsi, simpang siur, hanya mendapati nisan kakek dan neneknua di TPU desa, itu pun menjogrok tak terawat.Bapak ibunya kemana emang? Nah, inilah yang akan mempertegas kisah yang tengah aku sampaikan kepada kalian, maka tetaplah disana terus menyimak.

Berdasarkan cerita tetangga yang sedikit mengenalnya dari orok. Bapak dan ibunya sudah pisah semenjak anak ini masih ingusan, ia dirawat dan dibesarkan oleh kakek neneknya, tumbuh besar selayaknya teman-teman sebaya, bermain dan bertengkar meributkan hal-hal remeh, mengaji di surau, berenang di sendang bening bukit, normal sekali tampaknya, tetapi nasib sial menggelayuti dirinya semenjak kakek neneknya tutup usia, tak satupun saudara merawatnya, terlalu sibuk dengan urusan rumah tangga masing-masing, tinggal seorang diri saat masih kanak-kanak tentu tidak menyenangkan, ia tak mampu memperbaiki bale rumah dan wuwungan jerami yang rusak, hingga akhirnya rubuh juga diludahi waktu dan konon, saat itu pula anak ini hilang bak ditelan bumi. 

Ada yang bilang ia dibawa ibunya atau bapaknya, ada pula yang menganggap ia digondol kolong wewe, tak ada yang pasti, semua simpang siur, narasumber sendiri tak pernah memberitahukan kepada satupun warga kemana dirinya pergi, sampai ia muncul dengan sendirinya bertahun-tahun kemudian. Tumbuh besar secara normal, namun sikapnya berbeda, teman-teman bermainnya dahulu pun tak nyaman berada didekatnya, entah takut, entah ngeri, karena anak ini memang penuh misteri.

Lalu dimana ia tinggal sekarang? Baik, bila kalian benar-benar ingin tahu, saat ini ia tinggal di tidak dimana-mana. Lho, kok bisa? Bisa, karena terkadang aku menemuinya di saung galengan sawah, selasar surau, tepian sendang bukit, atau bahkan di balik selimut guguran daun jati kering. Soal perut, tak jadi soal, warga siap sedia menawarinya makan bila mendapati dirinya di sekitaran. Wah, enak banget jadi dia, ya? Ya, itu kalau kalian tidak memahaminya secara personal tentang diri dan masa lalunya. Kenapa emang? Kalian mulai cerewet ya! Karena bila kalian benar-benar menyimak kisah anak ini, aku yakin kalian akan menarik penyataan enak kalian barusan.

Baiklah, aku pikir latar belakangnya sudah cukup, jadi setelah aku mendekati dan menyelidikinya secara personal, yang kutangkap adalah, bahwa, mukjizat yang ia miliki, adalah karena keteguhan hatinya. Maksudnya? Ia berdoa. That's it?  Iya, jadi begini, suatu ketika aku pernah menemaninya di galengan sawah, hujan begitu deras membuat warga khawatir sungai akan meluap dan merendam hasil panen nantinya, maka, anak ini duduk bersila di tepian pematang, tak perduli guyuran hujan lebat menghujam tubuh dan wajahnya, aku hanya menyaksikan sembari bersedekap menahan dingin dalam teduhan saung. 

Mulutnya bila diperhatikan sedang komat-kamit membaca ayat atau mungkin mantra, tak dapat kupastikan dengan benar karena memang tak terdengar, dan seingatku ia mematung seperti itu sejak lepas dzuhur sampai hampir maghrib, aku sendiri takjub melihat upayanya yang begitu teguh. Dan ketika adzan maghrib berkumandang, seketikan itu juga hujan lebat berhenti. Pret ah, itu kan emang kebetulan waktunya hujan reda aja, apanya yang hebat? Begitu ya, jadi yang kau lihat hanya alasan-alasan logis dan postulat anak ini memang tidak sakti? Kau tidak melihat bagaimana ia sudah berupaya sedemikian rupa hanya untuk membuat warga seolah punya harapan agar tidak terjadi banjir, agar mereka bisa tenang menunggu di rumah yang nyaman dan hangat, sementara anak ini mengorbankan kesehatannya untuk hal itu dan kau anggap remeh temeh? Kalian ini pendengar kisah yang tipikal, pantas kalian merasa jengah dengan dongeng-dongeng yang telah kuceritakan.

Harapan, karena harapan para warga dapat menghidupi hari demi hari anak ini, sudah kukatakan kepada kalian ia tak memiliki siapapun, tak punya tempat bernaung. Bila kukatakan kepada kalian bahwa ia mengusir tikus-tikus dengan cara ia melepaskan ular, mengurangi populasi belalang dengan menyebarkan cangcorang, membuat takut burung-burung pipit dengan cara tak henti komat-kamit sendiri dengan lantang membaca ayat-ayat atau mantra di galengan sawah, aku yakin kalian menganggap hal itu biasa saja, karena memang sebuah cara untuk menanggulangi yang logis, begitu bukan? Tapi kalian tidak melihat atau bahkan menghargai semua upayanya seorang diri pula, karena ternyaya ia bukanlah nabi, dukun sakti, atau bisa mengeluarkan laser dari matanya atau bahkan jaring laba-laba dari pergelangan tangannya. Sebegitu bebalnya kah kalian menilai keluhuran dengan value yang harus meledak-ledak dan penuh aksi seperti dongeng holiwud?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun