Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Mengapa Etika Politik Kita Terus Runtuh

14 September 2025   08:43 Diperbarui: 14 September 2025   08:43 21
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
lustrasi bilik suara di Tempat Pemungutan Suara (TPS). (Foto: Randy Tri Kurniawan/RM)

Artikel opini reflektif tentang runtuhnya etika politik di Indonesia, pentingnya transparansi pelanggaran etika DPR, serta urgensi paradigma kepemimpinan melayani rakyat.


Di balik hiruk pikuk pemilu, rakyat menitipkan harapan lewat suara yang dicoblos di bilik suara. Setiap kertas yang dilipat dan dimasukkan ke kotak suara adalah simbol kepercayaan, sebuah janji tak tertulis bahwa wakil yang terpilih akan benar-benar mengemban amanah rakyat. Namun dalam kenyataan, janji itu sering terkikis. Banyak wakil rakyat yang setelah duduk di kursi kekuasaan lupa bahwa kedudukannya lahir dari antrian panjang rakyat biasa. Dari janji melayani berubah menjadi gaya penguasa. Dari amanah rakyat berubah menjadi instrumen partai atau kepentingan pribadi.


Dalam setiap pesta demokrasi, rakyat rela mengantri panjang demi memilih wakilnya. Harapan disematkan, amanah diberikan, dan legitimasi kekuasaan lahir dari suara rakyat. Namun seiring waktu, etika politik kerap tergerus. Banyak anggota dewan yang hadir bukan sebagai pelayan, melainkan penguasa kecil yang sibuk dengan pencitraan dan pengamanan posisi. Fenomena ini menimbulkan pertanyaan penting: apakah politik di negeri ini masih memiliki ruang bagi etika yang transparan dan kepemimpinan yang melayani?

Etika politik tidak seharusnya berhenti sebagai jargon. Ia harus hadir dalam mekanisme nyata yang bisa diukur. Bayangkan jika pelanggaran etika anggota DPR diumumkan terbuka seperti skor disiplin pegawai. Publik akan tahu siapa yang menjaga integritas dan siapa yang berkali-kali mengkhianatinya. Transparansi seperti ini bukan kemewahan, melainkan kewajiban. Tanpa itu, etika hanya tinggal catatan dalam undang-undang tanpa daya paksa.

Di negara dengan demokrasi lebih mapan, indeks integritas pejabat publik menjadi sorotan utama. Nama baik seorang politisi bisa runtuh hanya karena satu kasus pelanggaran etik. Namun di Indonesia, pelanggaran etik kerap tenggelam dalam riuh politik partisan. Publik hanya sesekali mendengar, lalu melupakan, sementara masalah mendasar tidak pernah diselesaikan. Pertanyaannya, apakah kita sanggup menjadikan politik setransparan penilaian kinerja pegawai?

Di sisi lain, kepemimpinan di negeri ini masih lebih sering dimaknai sebagai kekuasaan, bukan pelayanan. Pejabat publik sibuk dengan simbol status, fasilitas, dan jarak dari rakyat. Padahal sejatinya, seorang pemimpin adalah pelayan. Ia hadir bukan untuk ditakuti, tetapi untuk mendengar dan melindungi. Paradigma kepemimpinan melayani menuntut pejabat menanggalkan ego penguasa dan menumbuhkan empati yang tulus. Jika paradigma ini dihayati, jabatan bukan lagi panggung pencitraan, melainkan ruang untuk berbuat baik sebanyak mungkin. Kekuasaan tidak lagi dianggap privilese, tetapi tanggung jawab moral.

Mengabaikan etika dalam politik sama saja dengan menabur benih krisis kepercayaan. Rakyat perlahan tidak lagi percaya pada janji politik, kebijakan publik tersandera oleh kepentingan sempit, dan suara rakyat hanya dijadikan bahan kampanye lima tahunan. Dampaknya bisa jauh lebih parah, yaitu lahirnya apatisme politik yang merusak demokrasi itu sendiri. Ketika rakyat merasa tidak ada gunanya lagi memilih, maka legitimasi politik akan runtuh.

Untuk menghindari situasi itu, kita membutuhkan paradigma baru. Paradigma baru menuntut transparansi sebagai standar utama, bukan pengecualian. Paradigma baru menuntut pejabat publik menjalani jabatan sebagai pengabdian, bukan alat memperkaya diri. Paradigma baru menuntut keadaban publik sebagai landasan, karena tanpa keadaban, politik hanya menjadi permainan kosong tanpa arah.

Perubahan memang terdengar sulit, bahkan sering dianggap mustahil. Namun bukankah sejarah selalu dimulai dari mereka yang berani menaruh harapan di tengah keputusasaan? Seperti tetesan air yang konsisten mengikis batu, etika politik yang ditegakkan perlahan akan mengikis kerak kekuasaan yang korup. Rakyat pun bisa memulai langkah sederhana, menuntut transparansi, memperkuat pendidikan politik, dan menjaga budaya kritik yang sehat.

Kita perlu ingat bahwa suara rakyat bukan sekadar formalitas, melainkan amanah. Amanah itu harus dijaga, dipertanyakan, dan ditagih kepada wakil rakyat yang kini duduk di kursi kekuasaan. Jika mereka lupa, rakyat berhak mengingatkan. Jika mereka mengkhianati, rakyat berhak mengevaluasi. Politik hanya akan bermartabat jika ada hubungan yang jujur antara rakyat dan wakilnya.

Sebagai warga, saya sering merasa letih melihat etika politik dilanggar berulang kali. Namun letih tidak boleh berubah menjadi apatis. Harapan tetap ada, selama kita percaya bahwa politik bisa dijalankan secara bermartabat. Pertanyaan-pertanyaan mendasar masih harus terus diajukan: apakah mungkin politik dijalankan dengan transparansi yang nyata, bagaimana pejabat publik bisa bergeser dari pola pikir penguasa menjadi pelayan, dan apa risiko yang akan menimpa bangsa ini jika etika terus diabaikan.

Etika politik dan kepemimpinan melayani bukan sekadar teori, tetapi jalan panjang yang harus ditempuh jika kita ingin demokrasi tumbuh sehat. Jalan itu penuh rintangan, sering menimbulkan kekecewaan, namun tetap penting dilalui. Karena tanpa etika, politik hanyalah panggung kepalsuan. Dengan etika, politik kembali menjadi ruang pengabdian yang sejati bagi rakyat yang rela mengantri di bilik suara demi kehidupan yang lebih baik.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun