Mohon tunggu...
Subarkah
Subarkah Mohon Tunggu... Freelance

Suka nulis, suka nonton film, suka baca

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

Politik Membumi Agar Rakyat Tidak Sekadar Angka

7 September 2025   05:06 Diperbarui: 7 September 2025   05:06 42
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto oleh Hansjrg Keller di Unsplash 

Politik yang membumi menuntut wakil rakyat hadir di akar rumput, mendengar cerita nyata, dan memastikan keputusan parlemen menyentuh kehidupan sehari-hari rakyat.

Politik seharusnya menjadi jembatan yang menghubungkan suara rakyat dengan ruang pengambilan keputusan. Namun sering kali politik justru menjauh, meninggalkan cerita nyata dan hanya sibuk dengan wacana besar yang tidak menyentuh kebutuhan sehari-hari. Politik yang membumi menuntut wakil rakyat turun ke akar rumput, hadir dalam forum terbuka, mendengar langsung pengalaman warga, dan menjadikan suara itu sebagai dasar kebijakan.

Politik tidak boleh hanya hidup di ruang rapat, tetapi juga di jalan desa, di pasar tradisional, dan di ruang tamu rumah sederhana. Dari sanalah cerita nyata lahir, dari sanalah wakil rakyat seharusnya menimba makna keterhubungan. Namun, apa yang kita saksikan hari ini justru sebaliknya. Politik seringkali menjauh, mengeras dalam formalitas, dan kehilangan denyutnya sebagai suara yang hidup.

Kita bisa bertanya dengan jujur. Apakah para wakil rakyat sungguh mengetahui kisah mereka yang katanya diwakili? Ataukah mereka hanya mengenal statistik yang dingin tanpa wajah, tanpa air mata, tanpa rasa lapar? Pertanyaan ini penting, karena politik yang tidak membumi hanya akan menjadi panggung kosong. Megah dalam pidato, hampa dalam kenyataan.

Di atas kertas, sistem demokrasi menjanjikan keterhubungan antara rakyat dan wakilnya. Tetapi praktiknya sering kali retak. Seorang anggota DPR, misalnya, hanya kembali ke daerah pemilihan ketika musim kampanye tiba. Setelah itu, suara rakyat hilang ditelan lorong gedung parlemen. Padahal, membangun forum terbuka secara berkala setiap tiga bulan bisa menjadi jembatan. Dalam forum itu, rakyat bukan sekadar penonton, melainkan narasumber utama. Seorang ibu yang kesulitan mendapatkan akses bantuan sosial bisa bicara langsung. Petani yang harga gabahnya jatuh bisa menyuarakan keresahannya. Mahasiswa bisa menegur kebijakan yang dianggap tidak adil. Semua ini akan membuat keputusan politik lebih membumi, lebih dekat dengan kehidupan sehari-hari.

Forum terbuka semacam itu bukanlah romantisme. Ia adalah kebutuhan, karena demokrasi hanya hidup bila ada ruang perjumpaan nyata antara rakyat dan wakil. Tanpa itu, kita hanya punya formalitas yang kering. Bayangkan jika setiap keputusan DPR wajib menyertakan cerita nyata warga yang terdampak. Ketika membahas rancangan undang-undang tentang ketenagakerjaan, hadirkan testimoni buruh yang kehilangan pesangon. Saat membicarakan subsidi pertanian, dengarkan langsung kisah petani yang berutang kepada tengkulak. Dengan begitu, setiap pasal dalam undang-undang bukan sekadar hasil kalkulasi politik, melainkan cermin dari pengalaman hidup.

Cerita nyata mampu menjaga nurani politik. Ia membuat parlemen tidak sekadar menjadi ruang perdebatan, tetapi ruang penyambung kehidupan. Tanpa cerita nyata, politik mudah terjebak pada wacana besar yang jauh dari kebutuhan akar rumput. Luka keterputusan ini terlihat jelas dalam berbagai pengalaman pahit. Seorang anggota DPR seharusnya mengawasi jalannya bantuan agar sampai kepada yang berhak. Namun dalam kenyataan, regulasi kadang dipelintir untuk keuntungan pribadi dan keluarga. Bantuan macet di tengah jalan, rakyat menunggu, sementara fasilitas dan gaji pejabat tetap lancar mengalir.

Ada pula perjalanan dinas yang hanya menghabiskan anggaran. Masalah tidak selesai, rapat hanya berputar dalam wacana. Bahkan ketika seorang anak daerah berhasil duduk di kursi DPR, daerah asalnya tetap terabaikan. Bencana atau konflik sosial dibiarkan terbengkalai hingga masa jabatan berakhir. Politik dalam bentuk seperti ini tidak membumi, melainkan melayang di udara, jauh dari realitas.

Membumikan politik berarti mengembalikannya pada prinsip keterhubungan. Politik tidak boleh menjadi menara gading. Ia harus berjalan di jalan becek selepas hujan, menyusuri lorong-lorong perkampungan, mendengar cerita di warung kopi, dan masuk ke ruang kelas yang atapnya bocor. Keterhubungan ini bukan soal teknis, melainkan etika. Seorang wakil rakyat tidak sekadar memegang mandat formal, tetapi juga amanah moral. Ia dituntut untuk membawa suara rakyat sebagai suara yang hidup. Bukan suara yang dibekukan dalam angka-angka, melainkan suara yang menyentuh hati.

Ada kegelisahan yang sulit dihindari ketika melihat jurang antara rakyat dan parlemen. Namun kegelisahan itu tidak boleh berubah menjadi apatisme. Justru di sanalah harapan harus tumbuh. Politik bisa dibenahi bila kembali pada nilai dasar keterhubungan yang membumi. Kita bisa membayangkan sebuah DPR yang setiap keputusannya berakar pada cerita nyata. Kita bisa membayangkan anggota dewan yang tidak hanya hadir saat kampanye, tetapi kembali ke daerah pemilihan secara rutin, berdialog tanpa jarak. Kita bisa membayangkan forum terbuka di mana rakyat bukan hanya penerima keputusan, tetapi juga penggagas arah kebijakan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun