Apakah produktivitas kita benar-benar bermakna, atau sekadar bentuk pelarian dari kecemasan eksistensial? Artikel ini mengajak pembaca merefleksikan makna sibuk, lelah, dan rasa cukup dalam kehidupan modern.
Di dunia yang bergerak semakin cepat, menjadi produktif telah berubah dari kebutuhan menjadi tuntutan. Kita berpacu dengan waktu, dikejar target, dan didorong untuk terus menghasilkan. Namun di balik semangat "sibuk adalah baik", ada kelelahan yang tak terlihat dan kegelisahan yang perlahan tumbuh dalam diam. Artikel ini lahir dari pertanyaan-pertanyaan batin yang muncul di tengah hingar-bingar kehidupan modern: Apakah kita sungguh sedang membangun sesuatu, atau hanya sedang menghindari kekosongan dalam diri?
Suatu siang yang bising. Mesin-mesin proyek menggema dari kejauhan. Musik elektronik berdentum dari kafe sebelah. Jari-jariku mengetik cepat di atas keyboard yang panas disentuh matahari. Aku dikejar tenggat, dikejar to-do list yang tak kunjung habis. Tapi, di sela-sela semua itu, ada yang lebih mengganggu dari kebisingan luar: suara dari dalam kepala yang bertanya, "Apa kau benar-benar sibuk... atau hanya sedang menyembunyikan rasa takutmu?"
Mungkin kita semua pernah berada di sana. Di ruang kerja yang terasa seperti arena perlombaan, di balik layar laptop yang tak pernah ditutup sebelum tengah malam, dalam rutinitas yang kita sebut produktif tapi terasa kosong. Sunyi. Kita kerja dari pagi sampai malam, berganti tugas seperti mesin, namun ketika akhirnya diam, kita terkejut oleh kesunyian yang terlalu jujur. Seolah tubuh ini hanya diciptakan untuk bergerak, dan jika diam, maka ia kehilangan makna.
Produktif. Kata itu terdengar mulia. Efisien. Penuh nilai. Kamus Besar Bahasa Indonesia menuliskannya sebagai: mampu menghasilkan dalam jumlah besar; mendatangkan manfaat; membentuk unsur-unsur baru. Tapi sejujurnya, berapa banyak dari kita yang benar-benar merasa "menghasilkan"? Bukankah kita lebih sering hanya menggugurkan kewajiban? Masuk pagi, pulang sore. Mengerjakan apa yang sudah dirancang orang lain. Tidak merugikan, tapi juga tidak memperkaya siapa pun, termasuk diri sendiri.
Lalu kenapa kita tetap melakukannya?
Mungkin karena kita takut. Takut dibilang malas. Takut dicap tak berguna. Takut menghadapi kekosongan yang ada di balik kesibukan. Kita menyibukkan diri seperti sedang melarikan diri dari sesuatu yang tak ingin kita lihat. Kecemasan tentang masa depan. Kegamangan tentang arah hidup. Pertanyaan eksistensial yang datang di malam hari dan tak bisa dijawab dengan menyelesaikan satu project lagi.
Kadang aku bertanya, siapa yang sebenarnya kita kejar? Apakah diri kita sendiri yang ingin bertumbuh? Atau bayangan-bayangan dari ekspektasi orang lain yang begitu tegas menilai, jika kamu tidak sibuk maka kamu tidak berarti?
Aku ingat suatu masa, ketika jam kerja bukan sekadar jam kerja. Ketika bekerja berarti mencipta, membangun, menumbuhkan. Ada sensasi puas di akhir hari, bukan sekadar rasa lega karena sudah selesai. Tapi kini, produktif sering kali menjadi topeng. Kita memakainya seperti jubah superhero agar terlihat kuat. Tapi di baliknya, kita rapuh. Kita lelah. Kita tidak tahu harus ke mana, tapi kita terus berjalan cepat agar tak sempat merasa tersesat.
Inilah paradoksnya: kita hidup di era yang menghargai "busy" sebagai simbol keberhasilan, tapi mengabaikan kesehatan mental yang perlahan-lahan aus karena terus dikejar. Kita diajarkan untuk terus bergerak, tapi tak pernah diajarkan cara berhenti. Diam jadi terasa seperti dosa. Padahal, siapa tahu justru dalam diam itulah kita bisa mendengar suara hati sendiri. Suara yang lama kita bungkam dengan notifikasi, meeting Zoom, dan target bulanan.