Hal yang gratis memberi rasa diterima. Dalam masyarakat yang semakin lapar validasi, sesuatu yang tidak menuntut apa-apa terasa seperti hadiah.Â
Meski kecil dan tidak bertahan lama, ia memberi rasa cukup sesaat. Bukan karena nilainya, melainkan karena kehadirannya yang tak menghakimi.
Namun rasa cukup itu sesungguhnya semu. Kita tahu bahwa tidak ada yang benar-benar gratis. Selalu ada sesuatu yang harus kita tukarkan: waktu, perhatian, data pribadi, atau bahkan harga diri.Â
Tetapi kita tetap mengejarnya. Barangkali karena di dunia nyata, begitu banyak hal yang harus dibayar mahal bahkan untuk sekadar dihargai. Maka hal gratis menjadi hiburan. Ia adalah ilusi kecil yang menyamarkan rasa haus penghargaan yang tak kunjung selesai.
Ketika hal gratis menjadi candu, ia mengikis keinginan untuk mencipta dan bertumbuh. Mengapa harus berjuang jika bisa mendapatkannya dengan cuma-cuma? Perlahan, kita kehilangan arah.Â
Kita tidak lagi mengupayakan makna, hanya berharap bisa mendapat bagian dari sesuatu tanpa perlu berbuat banyak. Kita hidup dalam ilusi cukup yang rapuh dan mudah digeser oleh rasa iri.
Dalam antrean panjang itu, tak jarang terdengar bisik-bisik sinis. "Enak ya, yang sukses, nggak perlu antre begini." Ada nada iri yang tidak selalu tampak, namun mengendap dalam pikiran.Â
Kita sering kali menyalahkan keadaan, atau merasa kurang, bukan karena kita benar-benar kekurangan, tetapi karena kita tidak pernah merasa cukup dibanding yang lain. Karena itu, kita berlari ke arah gratisan bukan semata demi barangnya, tapi demi rasa dimiliki, meski semu.
Mungkin yang kita kejar bukan benda atau jasa itu sendiri. Kita mengejar rasa dimengerti. Kita ingin diberi tanpa ditanya. Kita ingin merasa bahwa dunia masih menyediakan ruang bagi kita, meski untuk sesaat. Hal gratis menjadi lambang penerimaan di dunia yang penuh persyaratan.
Namun apakah penerimaan seperti itu benar-benar menyehatkan? Apakah hal yang tidak kita upayakan akan membuat kita merasa pantas memilikinya? Atau justru menjebak kita dalam lingkaran pasif dan kehilangan arah?
Barangkali kita harus mengakui bahwa banyak dari kita bukan tidak mampu atau tidak ingin berusaha. Tapi kita kelelahan.Â