Tulisan reflektif tentang alasan psikologis dan sosial di balik kegemaran manusia terhadap hal gratis dalam dunia yang serba kompetitif.
 Dalam kehidupan modern yang penuh kompetisi dan penilaian, kita sering kali menemukan diri terpesona oleh sesuatu yang tampaknya sederhana: hal-hal yang gratis.Â
Tanpa sadar, kita ikut antre, mendaftar, dan berlomba mendapatkannya. Tapi apakah benar yang kita kejar hanya sekadar barang atau layanan? Ataukah ada kerinduan lain yang lebih dalam, yang diam-diam bersembunyi di balik kata "gratis"?Â
Tulisan ini mengajak kita merenung bersama tentang sisi batin dari fenomena yang tampak remeh namun menyimpan makna eksistensial.
Pada suatu siang yang panas, saya melintasi kawasan pusat kota. Gedung-gedung tinggi berdiri seolah ingin menaklukkan langit, sementara pusat perbelanjaan penuh sesak oleh pengunjung yang menyeret kaki tanpa arah pasti. Di sisi jalan, barisan orang mengular, mengantre dengan sabar.Â
Mereka menunggu giliran demi segelas kopi gratis. Bukan karena haus, tampaknya, melainkan karena satu alasan yang lebih menggoda: karena gratis.
Fenomena ini tampak sepele. Sering kali kita menertawakannya atau memilih untuk tidak peduli. Namun dalam hati yang diam-diam mengamati, muncul kegelisahan yang sulit ditepis.Â
Mengapa kita, manusia yang katanya rasional dan produktif, rela menghabiskan waktu, tenaga, bahkan martabat, demi sesuatu yang tidak berbayar? Apakah ini semata-mata demi berhemat? Ataukah ada luka yang lebih dalam, yang tak sempat sempat kita pahami?
Dalam sistem meritokrasi yang menuntut pembuktian atas segalanya, barang gratis menjadi semacam ruang bernapas.Â
Ia tidak menuntut kita untuk berhasil terlebih dahulu. Ia tidak mengukur siapa yang lebih layak. Ia tidak bertanya berapa penghasilan kita, siapa kita, atau seberapa sibuk kita.