Esai reflektif ini mengajak pembaca mengenali ketakutan tersembunyi yang sering muncul di pagi hari. Dengan diksi lembut dan analogi keseharian, tulisan ini menyoroti pentingnya menerima ketakutan sebagai sinyal, bukan kelemahan, agar kita bisa hadir lebih utuh dalam hidup yang terus bergerak.
Aroma kopi baru diseduh naik perlahan, menempel di udara seperti selimut tipis yang menenangkan kulit. Suara air masih mengalir di wastafel, sementara cahaya pagi menembus tirai. Dalam keheningan lembut ini, satu bisikan melintas, "Apakah aku akan cukup hari ini?" Pertanyaan singkat itu membuka pintu bagi rasa gelisah yang diamdiam menunggu sejak subuh.
Ketakutan kerap bersembunyi di balik rutinitas, bergerak setenang uap yang mengambang di atas cangkir. Kita jarang menyadarinya karena perhatian terbagi oleh daftar tugas dan notifikasi ponsel. Begitu fokus tertuju ke dalam, terasa ada kursi kosong di seberang meja, ditempati kegelisahan tak bernama. Ia meneguk keyakinan yang kita rangkai semalam, lalu mengembalikan gelasnya dalam keadaan setengah penuh. Sensasinya pun cepat menyebar ke dada, membuat napas pendek dan pikiran berputar mencari cara pergi sebelum sarapan selesai.
Setelah tegukan pertama, mata menoleh pada jam dinding di ruang tamu. Jarum panjang terus bergeser, tidak peduli apakah kita masih menggosok mata atau sudah memeriksa surel. Kita sering menyamakan diri dengan jarum itu. Bergerak tanpa henti. Mengejar angka dua belas seakan angka lain tidak sah. Ketika jarum tampak lamban, kita gelisah karena takut tertinggal. Ketika jarum terasa cepat, kita panik karena takut kehabisan waktu. Padahal jam sekadar setia pada tugasnya, sedangkan ketakutan menempelkan arti berlebihan pada setiap detik.
Pertanyaannya muncul: mengapa banyak orang memilih melawan ketakutan daripada mengakuinya? Melawan terdengar gagah karena di kepala kita terbayang kemenangan, pelindung diri, dan sorakan semangat. Menerima terdengar pasif, seolah menyerah sebelum berjuang. Namun pengalaman pribadi justru menunjukkan sebaliknya. Saat kita terusmenerus berperang, tubuh tak sempat menurunkan senjata. Setelah lampu kamar padam, benak masih menimbang strategi baru. Tidur pun berubah menjadi arena berikutnya, bukannya jeda pemulihan.
Ketakutan sering dipandang sebagai makhluk asing di luar diri, padahal ia lahir dari dalam, seperti uap kopi yang berasal dari panas cairan itu sendiri. Kita mungkin menutup cangkir rapatrapat, tetapi uap tetap bergerak mencari celah. Begitulah ketakutan. Ia merupakan sinyal bahwa ada sesuatu yang layak diperhatikan. Bisa jadi kapasitas kerja sudah terlampaui, relasi membutuhkan batas yang lebih sehat, atau citacita yang semula menyala tidak lagi selaras dengan nilai pribadi. Mengabaikan sinyal itu sama dengan menunda percakapan penting yang pasti muncul lagi.
Saya teringat satu pagi hujan rintik. Meski dunia tampak hening, dada justru berdebar cepat. Logika sibuk menebak penyebab---rapat siang, laporan keuangan, atau urusan keluarga. Tidak ada jawaban yang memuaskan. Akhirnya saya duduk diam dan memejamkan mata, mendengarkan suara detak yang mengetuk dari dalam. Ketakutan itu berbisik, "Aku hanya takut kau kehabisan tenaga sebelum mencapai garis akhir." Pesan itu sederhana, tetapi baru terdengar ketika saya berhenti memaksakan diri menjadi pemberani sepanjang waktu.
Menerima ketakutan bukan berarti membiarkan alarm berdentang sepanjang hari. Menerima berarti menyalakan lampu kecil agar kita bisa melihat furnitur batin tanpa tersandung. Misalnya, jelang presentasi penting, kita dapat berhenti sejenak, menamai sensasi di tubuh, lalu bertanya, "Bagian mana yang sebenarnya butuh diurus?" Jawabannya mungkin sesederhana minum air, meregangkan punggung, atau menutup tab media sosial yang mengalihkan perhatian. Dengan begitu, ketakutan tidak tumbuh liar, melainkan berfungsi sebagai kompas yang menunjukkan area rentan.
Tanpa rasa takut, keinginan belajar mudah layu, kewaspadaan meredup, dan keberanian kehilangan makna. Seperti kopi yang kehilangan aroma jika dibiarkan terlalu lama, hidup pun terasa hambar bila semua rasa diseragamkan. Yang kita perlukan adalah dialog harian dengan diri sendiri. Sediakan secangkir penerimaan, sejumput keberanian, dan jeda singkat untuk mendengar detik jarum jam apa adanya. Detik tetap berjalan; yang berubah adalah cara kita hadir.
Besok pagi, saat air mulai mendidih, amati uap yang terbit dari ceret. Biarkan ia naik, membentuk pola acak di udara, kemudian menghilang perlahan tanpa paksaan. Begitulah ketakutan. Ia muncul, memberi tanda, lalu menipis ketika diberi ruang untuk ada. Kita tidak menjadi lemah karena merasakannya, justru lebih utuh karena mampu menemani diri sendiri melewati kegelisahan. Setiap tegukan kopi akhirnya bukan sekadar rutinitas, melainkan pengingat bahwa keberanian bisa terasa hangat, sederhana, dan senantiasa bisa dituangkan kembali kapan pun kita bersedia hadir sepenuh hati.