Mohon tunggu...
SUARDI
SUARDI Mohon Tunggu... Lainnya - Buruh tani

Ilmu tanpa agama buta, agama tanpa ilmu lumpuh

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Filsafat Politik Islam dan Kepemimpinan

22 September 2022   11:27 Diperbarui: 22 September 2022   11:33 369
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
ilustrasi/pixabay.com

Pembahasan filsafat politik Islam sangat penting agar tidak terjadi ketakutan terhadap Islam atau disebut islamfobia. Islamfobia artinya menganggap agama Islam sebagai agama yang menakutkan,  atau prasangka terhadap Islam. Mirisnya, islam sering tertuduh dan disebut-sebut sebagai sumber kejahatan atau terorime oleh Barat. Pernyataan seperti ini menurut saya menyudutkan Islam, karena Islam sendiri adalah sumber perdamaian dan peradaban manusia di dunia.

Istilah Islamfobia diantaranya dikatikan pada beberapa hal yaitu serangan 11 September, kebangkitan kelompok militant ISIS, serangan terror di berbagai tempat, meningkatnya penduduk muslim di Eropa dan Amerika Serikat karena pemerintah mereka menerima pengungsi-pengungsi dari wilayah konflik di Timur Tengah dan Afrika, pemaksaan penerapan hukum Islam dan lain-lain.   Islamfobia kemudian menjadi topik perdebatan, sebagian dari kalangan Islam menganggap bahwa Islamfobia adalah konsep absurd yang mencampur-campurkan kritik terhadap Islam sebagai agama dengan stigmatisasi terhadap penganutnya.

Sedangkan dari pandangan Barat sendiri yaitu seperti diungkapkan oleh seorang professor Universitas Harvard Daniel Pipes secara terang-terangan memojokan Islam.  Ia menyamakan jihad dengan Kamf dari kata Mein Kamf yang menjadi judul karya Hitler. Pipes menuding Islam militan seperti Zayed Yasin seorang mantan Presiden Harvard Islamic Society berdosa karena mengumpulkan dana untuk organisasi bantuan kemanusiaan bagi Masjid Al-Aqsha.

Berdasarkan beberapa argument tersebut, maka disinilah perlunya membahas tentang filsafat politik Islam. Dengan menemukan kembali filsafat politik Islam, kita akan menemukan secara mendasar bagaimanakah politik Islam dipandang dalam perspektif filsafat, atau politik dipandang dalam perpektif Islam? Sementara itu berkaitan dengan kepemimpinan, islam memberikan penekanan bagaimana kualifikasi pemimpin itu.

Filsafat Politik Islam 

Membincang filsafat politik Islam sebetulnya tidaklah begitu rumit, karena filsafat tidak mencampuradukan keduanya, politik atau pun Islam. Inti dari filsafat adalah kebijaksanaan dan kebenaran, maka filsafat memberikan ruang kepada politik yang kemudian disebut filsafat politik. Sedangkan, mengenai filsafat Islam, maka termasuk filsafat agama atau Islam sendiri menyebutnya ilmu qalam (poko-pokok ajaran beragama).   

Dalam pokok-pokok ajaran filsafat Islam dijelaskan mengenai tauhid, akidah, Syariah dan akhlak. Jadi antara filsafat politik dan filsafat agama (Islam) ini berbeda dan keduanya harus kita tafsirkan. Mengutip laman jurnalfsh.uinsby.ac.id, agama dianggap sakral sebab memang bersumber dari wahyu sementara politik adalah bersumber dari akal pikiran manusia yang mengutamakan kebutuhan yang dihadapi dalam realitas kemanusiaan.

Islam tidak semerta-merta langsung mengatur mengenai bagaimana seharusnya politik itu, atau siapa yang boleh menjadi pemimpin jabatan pemerintahan. Islam tidak mengatur kepada posisi-posisi jabatan-jabatan tertentu tetapi Islam mengajarkan kepada manusia tentang musyawarah dan bagaimana seharusnya seorang pemipin atau penguasa berbuat sesuai dengan kehendak rakyat. Inilah yang saat ini kita sebut demokrasi seperti persamaan, kebebasan, keadilan dan kesejahteraan.

Kepemimpinan dalam Islam

Teori politik Islam tradisional cenderung memberikan penekanan kepada pemimpin, apakah itu disebut khalifah, imam, sulthan dan lain sebagainya. Namun, disamping penekanannya kepada keadilan sebagai sifat yang mesti dimiliki pemimpin, tradisi pemikiran politik Islam bukannya sama sekali tidak mengenal unsur-unsur yang sekarang membentuk pengertian demokrasi.

Jalaludin Rahamat dalam buku berjudul Filsafat Politik Islam, mengungkapkan musyawarah antara pemimpin dan pengikutnya adalah suatu fenomena yang sudah ada sejak sejarah dini Islam. Teori-teori politik Islam tradisonal pun bukannya sama sekali tak mempromosikan musyawarah. Mereka bahkan bergerak sejauh mempromosikan "ijma", suatu upaya mencari kesepakatan orang banyak berdasarkan pernyataan Nabi Muhamad SAW.

Politik adalah interaksi antara pemerintah dengan masyarakat dalam rangka proses pembuatan dan pelaksanaan keputusan yang mengikat tentang kebaikan bersama masyarakat yang tinggal dalam suatu wilayah tertentu (Ramlan Surbakti 1999:1). Pemerintah adalah sekelompok orang yang menjalankan tugas negara. Namun, dalam melaksanakan tugasnya, mereka yang memiliki kekuasaan cenderung menyalahgunakan wewenangnya. Thomas Hobbes menyebutnya, manusia adalah srigala terhadap manusia lainnya (homo homini lupus). Karena sifat-sifat hewani itulah, politik Islam menekankan pada kualifikasi seorang pemimpin.

Filsafat politik Islam dijelaskan oleh seorang filsuf muslim Al-Farabi. Al-Farabi sebagaimana dijelaskan Jalaludin Rahmat, menekankan pada kualifikasi dalam memilih seorang pemimpin.   Diantara sifat-sifat pemimpin yang disebutkannya yaitu bijak, berbadan kuat, bercita-cita tinggi, baik daya pemahamannya, kuat daya hafalannya, sangat cerdas, fasih berbicara, cinta kepada ilmu, sanggup menanggung beban dan kesulitan karenannya, tidak rakus kepada kenikamatan jasmani, cinta kepada kejujuran, mulia jiwanya, adil dan teladan bagi semua orang, serta berani dan paling awal.

Sementara itu, Syaikh Al-Ra'is Ibnu Sina menyatakan dalam kitabnya, Al-Syifa, tentang Bab "Penentuan Khalifah dan Imam" yaitu sebagai berikut:

"... kemudian wajib bagi seorang pemimpin untuk mewajibkan patuh kepada orang yang akan menggantikannya. Suksesi ini tidak boleh terjadi melainkan dari sisinya, atau berdasarkan "ijma" para ahli senior atas seseorang yang secara publik dan aklamasi diakui sebagai orang yang mandiri dalam politik, kuat secara intelektual, bermoral mulia seperti berani, terhormat, cakap, mengelola dan arif dalam hukum syariat, sehingga tiada orang yang lebih dikenal darinya,".

"Ditetapkan kepada mereka bahwa apabila terjadi perselihian atau pertikaian lantaran dorongan hawa nafsu atau mereka sepakat menetapkan orang yang tidak memiliki keutamaan-keutamaan ini dan yang tidak layak, maka mereka akan kafir kepada Allah,".

Pemimpin merupakan posisi yang sangat strategis karena fungsi pemimpin sama seperti kepala (otak) bagi tubuh. Apabila kepala sakit, maka bagian tubuh yang lainnya niscaya akan terganggu. Demikain pula sebaliknya, ketika kepala sehat, maka seluruh tubuh niscaya akan ikut sehat dan dapat berfungsi dengan baik. Itulah posisi pemimpin, ibarat organ vital di tubuh manusia.

Di tangan pemimpin banyak keputusan yang sangat menentukan arah suatu perkumpulan, organisasi, hingga suatu negara. Penulis sepakat dengan pernyataan pakar kepemimpinan Dr. John C. Maxwell; "untuk mmengubah arah suatu organisasi, ubahlah pemimpinnya,". Berdasarkan pernyataan Maxwel tersebut, maka apabila dalam suatu organisasi, atau negara pemimpinnya tidak melaksanakan kewajiannya sesuai kehendak rakyat maka sah untuk diganti. Tapi diganti disini perlu digaris bawahi, yaitu harus tetap sesuai dengan Undang-Undang atau konstitusi yang berlaku. ***

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun