Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Spiritualitas Reformed

5 Maret 2018   20:50 Diperbarui: 23 Agustus 2018   21:45 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Konsep di atas diungkapkan secara eksplisit oleh Calvin dalam karya monumentalnya, Institutes of the Christian Religion. Di bagian pengantar buku ini yang ditujukan kepada Raja Francis I, ia menjelaskan tujuan penulisan karyanya sebagai berikut, “My intention was only to furnish a kind of rudiments, by which those who feel some interest in religion might be trained to true godliness.”

Walaupun Calvin sangat menekankan aspek praktis dalam spiritualitas, namun ia sangat berbeda dengan para penganut spiritualitas postmodern yang sangat subjektif dan tidak memiliki dasar objektif yang mutlak. Kesalehan (pietas) menurut Calvin didasarkan pada kebenaran objektif yang sangat esensial. Spiritualitas bukanlah bersumber dari praktik-praktik keagamaan yang superfisial. Kerohanian bukanlah mengikuti tatanan moralitas tertentu. Dasar dari segala kerohanian sejati adalah persekutuan mistis (mystical union) dengan Kristus. “Not only does he cleave to us by an indivisible bond of fellowship, but with a wonderful communion, day by day, he grows more and more into one body with us, until he becomes completely one with us.” (Institutes III.2.24) à bdk. Gal. 2:20; Flp. 1:21a.

Secara historis, persekutuan mistis (mystical union) dengan Kristus sudah terjadi sejak kekekalan di mana Allah sudah merancangkan penebusan dengan tujuan supaya kita menjadi serupa dengan gambaran Anak-Nya (Rm. 8:29; 2Kor. 3:18; Kol. 3:10). Dengan kata lain, kerohanian sejatinya adalah perjalanan menjadi serupa dengan Kristus. Konsep kerohanian seperti ini sangat berpusatkan kepada Kristus. Kerohanian yang dipisahkan dari Kristus bukanlah kerohanian ala Reformed.

Segala sesuatu yang kita lakukan harus berkaitan dengan Kristus. Setiap aspek hidup kita harus berpusatkan kepada Kristus. Tidak heran, Paulus berani menuliskan kalimat yang sangat terkenal sekali dalam 1 Korintus 10:31. Lakukanlah segala sesuatu untuk Tuhan bahkan dalam hal-hal yang dipandang sepele sekalipun (bandingkan artikel berikut ini).

Abraham Kuyper, seorang teolog Reformed yang sangat disegani pernah menuliskan hal senada dalam salah satu bukunya, “There is not a square inch in the whole domain of our human existence over which Christ, who is Sovereign over all, does not cry, Mine!” Dengan kata lain, Kristus berdaulat penuh atas seluruh kehidupan kita. Dialah yang menggerakkan seluruh kehidupan kita.

Perenungan mendalam terhadap doktrin ini membuat kita terkagum-kagum akan relevansinya. Tujuan hidup kita adalah untuk menjadi serupa dengan Kristus. Tujuan ini tidak mungkin dicapai jika Dia tidak melakukan segalanya untuk kita. Dia mati untuk menyelesaikan persoalan kita yang terbesar yaitu dosa. Dia bangkit untuk mengalahkan ketakutan kita yang terbesar yaitu maut. Dia memberi kita kuasa untuk hidup terus semakin serupa dengan Dia dalam pengudusan seumur hidup. Doktrin ini seharusnya membuat kita terus memikirkan segala sesuatu yang kita lakukan dalam terang Injil Yesus Kristus. Segala keputusan dan pilihan yang kita buat harus berkaitan dengan penebusan Kristus dan Kerajaan Allah di muka bumi. Apa yang kita pilih dan lakukan dalam hidup ini tidak boleh menjadi penghambat bagi kepentingan Kristus dan pembangunan Kerajaan Allah di dunia. Studi kita, pekerjaan kita, cara kita berumah tangga, bahkan cara kita berhubungan seksual harus menjadi fasilitator bagi kepentingan Injil Yesus Kristus dan pembangunan Kerajaan Allah di dunia.


Ini merupakan akar dari spiritualitas Reformed. Seluruh orang percaya telah dipersatukan begitu rupa dengan Kristus sehingga apa yang Ia lakukan dapat dinikmati oleh orang percaya. David Willis-Watkins, seperti dikutip oleh Joel R. Beeke menandaskan pentingnya kesatuan ini dalam ungkapan berikut, “Calvin’s doctrine of union with Christ is one of the most consistently influential features of his theology and ethics, if not the single most important teaching that animates the whole of his thought and his personal life.”

Tujuan dari kesalehan yang sejati adalah kemuliaan Allah (Soli Deo Gloria). Dalam Institutio III.7.1 Calvin menulis, We are God’s: let us therefore live for him and die for him. We are God’s: let his wisdom and will therefore rule all our actions. We are God’s: let all the parts of our life accordingly strive toward him as only lawful goal” (bdk. Luk. 17:10; Rm. 3:36). Semua persoalan kita bersumber dari fokus dan tujuan hidup yang keliru. Tujuan hidup yang benar akan menghindarkan kita dari banyak masalah. Mempercayai bahwa Yesus Kristus adalah Tuhan atas alam semesta memang mudah, namun akan menjadi sebuah hal yang sulit untuk melakukan hal yang sama atas hidup kita. Kesalehan semacam ini ditunjukkan Ayub dalam akhir pergumulannya bersama Allah (Ay. 42:2). Allah berhak melakukan apa saja dalam hidup kita demi kemuliaan-Nya.

Dalam perkembangan selanjutnya aspek eksistensial dalam spiritualitas Reformed tetap dipertahankan. Yang menarik adalah cara Katekismus Heidelberg dimulai. Dalam diskusi teologi di tradisi Reformed, topik pertama yang sering diulas biasanya adalah tentang Allah atau Alkitab. Hal berbeda dapat ditemukan dalam Katekismus Heidelberg. Katekismus ini dimulai dengan topik yang berkaitan dengan manusia dan langsung menyentuh kebutuhan terbesar dalam hidup manusia. Pertanyaan pertama berhubungan dengan penghiburan satu-satunya bagi manusia selama hidup di dunia ini dan yang akan datang.

Keputusan untuk memulai katekismus dengan cara seperti ini jelas bukan suatu kebetulan. Posisi pertanyaan ini menyiratkan bahwa para perumus Katekismus Heidelberg memandang teologi sebagai sentuhan praktis bagi kebutuhan riil manusia. Katekismus ini bukan hanya berusaha menyampaikan suatu pengetauan, tetapi memenuhi sebuah kebutuhan. Herman Hoeksema dalam tafsiran klasiknya tentang Katekismus Heidelberg menulis demikian, “Man is more intellect, mind or reason. He is also volitional being. He has a will, emotions, desires, imangination, feelings. He is a being with ‘heart and mind and soul and strength’. And comfort concerns the whole man...faith is more than knowledge, it is also confidence. Religion is more than doctrine, it is life and joy. And comfort is more than a mere decision of the mind, it is also a determination of the will, affecting all the desires and emotions.”

Spiritualitas yang hanya dilekatkan pada aspek intelektual akan membuat kita kehilangan banyak hal. Sebab manusia bukan hanya makhluk rasional, tetapi juga makhluk emosional. Semuanya itu harus disentuh di dalam ibadah Reformed. Ibadah kita seharusnya adalah ibadah yang bebas; bukan berarti kita bisa berbuat apapun semaunya. Ruang bagi pekerjaan Roh Kudus harus disediakan lebih luas untuk menyentuh diri kita sebagai manusia seutuhnya. Ekspresi yang sopan dan teratur harus diterima dengan tangan terbuka. Sentuhan yang diberikan bukan hanya terpaku pada aspek intelektual, melainkan juga mulai bermain di ranah imajinasi dan perasaan emosional.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun