Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Spiritualitas Reformed

5 Maret 2018   20:50 Diperbarui: 23 Agustus 2018   21:45 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kita tidak perlu takut dengan tantangan-tantangan yang sudah dipaparkan di atas karena beberapa hal berikut ini. Pertama, manusia memiliki kebutuhan yang besar terhadap spiritualitas. Manusia diciptakan Allah dengan jiwa yang terus mencari Dia. Tindakan Allah yang menghembuskan nafas kepada Adam (Kej. 2:7) bukan hanya menjadikannya sebagai makhluk yang hidup, melainkan juga bahwa untuk menjadi utuh, manusia akan selalu mencari Penciptanya. Penafsiran ini didukung oleh teks Alkitab yang lain terutama Kitab Pengkhotbah (Pkt. 3:11).

Dalam diri manusia terdapat kerinduan yang sangat mendalam terhadap perjumpaan pribadi dengan Allah sebagai Pencipta. McGrath dalam bukunya yang lain menulis demikian, “We are made in the image of God. We have an inbuilt capacity - indeed, an inbuilt need - to relate to God. Nothing that is transitory can ever fill this need. To fail to relate to God is to fail to be completely human. To be filled is to be filled by God. Nothing that is not God can ever hope to take the place of God. And yet, because of the fallenness of human nature, there is a natural tendency to try to make other things fulfill this need. Created things are substituted for God, and they do not satisfy.”

Salah satu filsuf yang paling anti terhadap kekristenan, Fredrich Nietzsche, pernah mengatakan bahwa akan terjadi The Death of God suatu saat kelak ketika ilmu pengetahuan semakin berkembang. Tidak akan ada lagi diskusi tentang Allah, demikian pemikirannya. Kenyataannya, Islam menjadi agama yang paling cepat berkembang. Saksi Yehova dan Mormon memiliki pengikut yang semakin banyak. Dengan demikian, dimensi religius menjadi salah satu hal yang paling banyak dicari oleh manusia.

Dalam beberapa dekade ke depan, ketika semua orang masuk dalam budaya digital yang sifatnya impersonal (tatap muka seminimal mungkin), maka kekosongan secara rohani akan menjadi semakin kentara dan besar. Pencarian akan kerohanian menjadi semakin dibutuhkan oleh manusia. Kesungguhan terhadap hal-hal yang bersifat spiritual akan semakin dicari oleh banyak orang. 

Budaya konsumerisme dan materialisme telah meninggalkan kekosongan dalam diri manusia. Banyak orang lebih puas untuk membagi uang ketimbang memiliki uang. Membeli hal-hal yang sifatnya non-material (liburan, pengalaman, dsb.) jauh lebih disukai banyak orang ketimbang menghabiskan uang untuk hal-hal yang bersifat material.

Adam menjadi makhluk yang terus mencari Allah sebab Ia menghembuskan nafas-Nya ke dalam diri Adam. Ini adalah apa yang disebut John Calvin sebagai “divinitatis sensus” atau benih keagamaan. Walaupun ini bukan inti dari teologinya, tetapi ia banyak menyinggung tentang sense of divinity. Salah satu hal menarik adalah keinginannya untuk mendaratkan teologi sebagai jawaban dari kebutuhan manusia. Kekosongan rohani mendapat perhatian yang serius dalam teologi Calvin.


Setelah menjelaskan relasi antara pengetahuan Allah dan manusia (Institutio I pasal 1) maupun hakikat dari pengetahuan tentang Allah ini (Institutio I pasal 2), Calvin selanjutnya meletakkan kekosongan rohani ini di bagian paling awal sebagai salah satu cara manusia dapat mengenal Allah. Cara pengungkapannya pun sangat tegas, demikian tulisnya: “That there exists in the human minds and indeed by natural instinct, some sense of deity, we hold to be beyond dispute, since God himself, to prevent any man from pretending ignorance, has endued all men with some idea of hid Godhead, the memory of which he constantly renews and occasionally enlarges, that all to a man being aware that there is a God, and that he is their Maker, may be condemned by their own conscience when they neither worship him nor consecrate their lives to his service”.

Sebagian orang Reformed kurang menekankan hal ini karena khawatir bahwa konsep ini terlalu berbau skolastik. Kekhawatiran ini sangat disayangkan karena penekanan Calvin berbeda dengan teolog skolastik. Calvin lebih menyoroti aspek praktis dari apa yang ia sebut sebagai sensus divinitatis. “Calvin’s interest in the divinitatis sensus are not primarily scholastic. Instead of exploring what this innate sense is, he is going to focus on what it does or what functions it serves. Calvin thus remains consistent with his previous disavowal of all theologically specualtive enterprise.” Itulah sebabnya semua orang akan mencari Allah. Persoalannya, tidak semua orang menemukan Allah yang benar.

Sinyal peluang yang lain datang dari fakta bahwa manusia memang butuh disentuh secara emosional. Sebagai contoh adalah apa yang terjadi pada ibadah-ibadah kontemporer. Meskipun tidak semua ibadah kontemporer keliru, tidak semuanya juga dapat dibenarkan. Banyak ibadah kontemporer yang menawarkan hiburan. Penyembahan diekspresikan melalui gerakan melompat dan menari. Begitu sang pendeta mulai berkhotbah, mayoritas jemaatnya asyik bermain handphone. Orang-orang semacam ini sebetulnya hanya menunjukkan kekosongan jiwanya yang tidak terisi oleh Tuhan.

Semangat zaman postmodern yang sangat menekankan pengalaman subjektif dengan apa yang disebut “Allah” sebenarnya tidak terlalu negatif seperti yang dipikirkan banyak orang. Poin ini justru memberikan peluang bagi orang-orang Reformed. Fenomena tersebut memberikan petunjuk yang jelas bahwa mereka merasakan kekosongan dalam hatinya. Kekosongan dalam hati manusia adalah peluang yang besar bagi relevansi spiritualitas. “Central to the intensity of contemporary interest in the spiritual life is the desire for personal religious experience. Many people have become serious in their search for a living and vital relationship with God because they feel empty.”

Contoh paling terkenal tentang hal ini adalah bapa gereja Agustinus. Ia telah mencoba berbagai cara untuk mencapai kebahagiaan sejati. Ia mencoba ilmu retorika yang waktu itu menjadi primadona ilmu. Tidak ketinggalan, ia pun mencari kepuasan dalam filsafat mistis Manikheanisme. Kehidupan bebas pun ia jalani hanya demi mengisi kekosongan dalam dirinya. Di akhir pergumulan ini ia mengutarakan sebuah ungkapan yang sekarang menjadi sangat terkenal, “You have made us for yourself, and our hearts are restless until they rest in you.”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun