Mohon tunggu...
Stephen G. Walangare
Stephen G. Walangare Mohon Tunggu... -
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Kunang-kunang kebenaran di langit malam.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Spiritualitas Reformed

5 Maret 2018   20:50 Diperbarui: 23 Agustus 2018   21:45 900
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Matius 6:1-4 menunjukkan kesungguhan orang Yahudi dalam memberikan sedekah. Untuk diketahui, sedekah berbeda dengan persepuluhan. Kewajiban mereka adalah memberikan persepuluhan, bukan memberikan sedekah. Sekilas, tindakan ini tampak sangat kental dengan nuansa kemurahhatian. Penelitian awal mungkin menunjukkan bahwa tindakan ini patut diapresiasi sebagai tanda kerohanian. Tidak semua orang Kristen membayar persepuluhan, apalagi berkomitmen untuk menyisihkan hartanya bagi kebutuhan orang lain (bersedekah).

Penyelidikan lebih lanjut terhadap perikop ini ternyata mengarahkan kita pada kesimpulan yang berbeda. Bersedekah belum tentu menjamin kualitas kerohanian seseorang. Dalam perikop ini, pujian dari orang lain ternyata menjadi tujuan dari pemberian sedekah.

Perikop setelahnya menunjukkan kesungguhan orang Yahudi dalam berdoa (ay. 5-7). Mereka memang memiliki aturan yang sangat ketat tentang rutinitas berdoa. Aturan ini dijalani juga dengan sangat ketat, tanpa memandang tempat, tanpa pernah melewatkan kesempatan. Beberapa penafsir Alkitab bahkan menjelaskan bagaimana mereka mengatur waktu ketika dalam perjalanan. Ketika tiba waktunya berdoa, mereka berada di pusat keramaian. Sekilas, tindakan ini mungkin mengecoh penilaian kita terhadap kualitas kerohanian seseorang. Apalagi ditambah dengan realita bahwa kita sering kali bersikap ogah-ogahan untuk mencari gereja pada saat sedang berpergian ke luar kota/luar negeri. Bahkan ketika usaha pencarian gereja menemui kebuntuan, kita juga kerap mengabaikan ibadah bersama dengan keluarga di hari Minggu.

Ketekunan orang-orang dalam perikop ini untuk menaati aturan-aturan keagamaannya - secara khusus terlihat dari konsep berdoa mereka - ternyata tidak menghasilkan kualitas kerohanian seperti yang diharapkan. Apa yang terjadi dengan orang-orang di Matius 6:7 sebetulnya tidak terlalu sulit untuk dipahami. Fenomena yang sama sedang dialami oleh orang-orang Kristen. Kalimat yang indah dan jumlah kata yang banyak dianggap menambah khasiat kemanjuran sebuah doa. Kesan meyakinkan ditampilkan melalui suara yang diucapkan. Doa yang sederhana dipandang tidak berkuasa. Menariknya, beberapa orang Kristen menentukan kualitas kerohanian seseorang hanya dari cara ia berdoa. Ternyata, konsep doa yang keliru membuat semua tindakan doa kita tidak ada artinya bagi kesalehan hidup kita.

Perikop setelahnya menunjukkan kesungguhan orang-orang Yahudi dalam berpuasa (ay. 16-18). Orang Farisi berpuasa dua kali dalam seminggu (bdk. Luk. 18:12). Hukum Taurat hanya memerintahkan puasa wajib sebanyak sekali dalam setahun, yaitu pada saat Hari Raya Pendamaian (Im. 16:29- 31; Bil. 29:7). Ada beberapa puasa tambahan yang dicatat dalam Alkitab, tetapi hal itu hanya dilakukan dalam situasi-situasi khusus saja (2Sam. 12:21-22; 1Raj. 21:27; Neh. 1:4; Zak. 8:19). Berpuasa secara rutin dua kali dalam seminggu jelas bukan pencapaian yang biasa. Dibutuhkan kemauan dan kedisiplinan yang besar.

Alih-alih mengerti konsep berpuasa yang benar, kekristenan modern jarang sekali menekankan kesalehan dalam bentuk puasa. Jumat Agung adalah satu-satunya waktu berpuasa bagi beberapa orang. Dengan fakta semacam ini, mungkin kita merasa minder dengan kerohanian yang ditunjukkan orang-orang Yahudi.


Penyelidikan lebih lanjut terhadap perikop ini ternyata mengarahkan kita pada kesimpulan yang berbeda. Kuantitas berpuasa belum tentu menjamin kualitas kerohanian seseorang. Dalam perikop ini, pujian dari orang lain ternyata menjadi tujuan dari tindakan berpuasa.

Dengan kata lain, hal-hal yang selama ini kita pandang sebagai kerohanian ternyata belum tentu diperkenan Tuhan. Orang yang banyak memberi belum tentu termasuk orang yang rohani. Orang yang sering berdoa belum tentu termasuk orang yang rohani. Orang yang sering berpuasa belum tentu termasuk orang yang rohani. Tetapi orang yang rohani pasti sering melakukan ketiganya.

Tinjauan lain mengenai spiritualitas datang dari Kolose 2:20-23. Upaya melarikan diri dari dunia ini tampaknya dipandang sebagai sesuatu yang baik bagi beberapa orang. Ketaatan terhadap peraturan yang merinci tentang ini dan itu dianggap sebagai tanda kerohanian. Tugas orang Kristen pun dipersempit menjadi hanya memelihara relasi yang baik dengan Allah dalam doa, pembacaan Alkitab, dan melayani orang lain. Pengamatan yang komprehensif terhadap situasi semacam ini menunjukkan bahwa upaya menyiksa diri belum tentu menjamin kerohanian seseorang.

Melalui beberapa klarifikasi di atas, saya ingin menandaskan bahwa kesalehan tanpa kebenaran adalah sebuah kesalahan. Tidak adanya kebenaran Kristus dalam tiap kesalehan kita adalah tanda bahwa kesalehan kita hanyalah kumpulan kesalahan yang terakumulasi.

Dalih yang mungkin berdatangan adalah mengenai kesungguhan. Kesalehan yang salah dipandang bisa ditolerir dengan sikap yang sungguh-sungguh. Salah tidak apa-apa, yang penting sungguh-sungguh. Banyak hal yang bodoh dan salah dibenarkan karena dilakukan dengan sungguh-sungguh. Pandangan semacam ini hanya berujung pada kekeliruan yang lain. Orang yang sungguh-sungguh dalam kesalahannya adalah orang yang sungguh-sungguh salah. Pengujian yang sesungguhnya bukan hanya terletak pada kesungguhan dan ketulusan, tetapi juga pada kebenaran. Kesalehan yang sejati adalah perpaduan antara kebenaran, kesungguhan, dan ketulusan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun