Rintihan tangis telingaku terdengar oleh dirinya. Aku masih menanti ribuan kalimat itu terucap dari mulutnya. Aku pun tidak ingin terkesan mengemis untuk mendapat jawab darinya. A
khirnya setiap kalimat yang terucap dari mulutnya hanya sebuah bualan untuk meredam tangis. Seperti meredam rengekan anak kecil yang meminta balon. Aku tidak suka! Kugebrak meja sekuat tenaga! Kengerianku sudah keluar karena ia yang memaksa.Â
Beraninya dia bersilat lidah dihadapanku. Ragaku terpental. Duduk lagi supaya supaya strategiku dapat berjalan lancar. Sama-sama memainkan strategi dan tahu langkahnya kemana akan berjalan.Â
Siapa dia dan siapa aku sesungguhnya? Debaran didadaku semakin memuncak. Tetaplah menjadi dinginnya api. Ujarku dengan tenang, menatap diri yang sempat terpancing dengan permainannya.Â
Jika aku mengancamnya, aku akan kehilangan banyak hal termasuk keberadaan suamiku. Kutajamkan lagi pendengaranku, siapa tahu telinganya berbisik kepada telingaku. Ternyata sama, ia masih merintih merindu sapaku.Â
Aku masih dingin. Tidak ada hangat untuk mencairkan kebekuan itu. Aku masih bungkam, tidak menghangatkan apalagi menjadi panas lagi. Hanya mematung saja. Terdiam lagi menyembunyikan rahasia besar tentang sebuah kematian dirinya dihadapanku saat ini. Ia jujur atau berbohong, bom waktu dibangkunya sudah terpasang. Apakah aku akan kehilangan sesuatu? Tidak... Mengapa?Â
Bersambung...Â
Salam,Â