LK yang bekerja di wilayah terpencil membutuhkan dana besar untuk operasionalnya. Selain transpotasi yang mahal, barang barang kebutuhan juga lebih tinggi harganya dibanding di perkotaan.Â
Lembaga kemanusiaan juga berkeinginan untuk memperluas wilayah kerjanya agar semakin banyak masyarakat yang bisa dibantu. Hal itu tentu saja memerlukan biaya tersendiri yang tidak bisa dimasukkan ke dalam dana kegiatan masyarakat.Â
Lantas bagaimana cara mengetahui sebuah humanitarian business bukan humanitarian for business?Â
Agak sulit untuk mendeteksinya.
Di lembaga tempat saya bekerja dulu, ada kunjungan dari Kemensos sebagai bagian dari audit program dalam rangka pengawasan. Mungkin sebuah LK sebesar ACT juga mendapat perlakuan yang sama.
Sebenarnya ACT juga sudah menerbitkan laporan keuangan yang bisa diakses publik sebagai bagian pertanggung jawaban sumber dananya dari masyarakat. Tetapi kita sama sama tahu bahwa laporan keuangan bisa saja di manipulasi, baik dari internal atau kerjasama dengan pihak auditor.Â
Memang sulit melihat penyimpangan sebuah LK hanya dari laporan keuangannya saja.Â
Salah satu cara lebih mudah untuk mendeteksinya adalah dengan melihat fasilitas yang diberikan sebuah LK.Â
Dalam kasus ACT, mobil kelas Toyota Alphard atau Mitsubishi Pajero untuk kegiatan para petingginya adalah sebuah kemewahan bagi sebuah misi kemanusiaan.Â
Jika melakukan kunjungan kerja ke masyarakat terutama di daerah daerah minus, mobil mobil kelas tersebut akan kesulitan menembus jalan tertentu pun kedatangannya juga akan menghebohkan.Â
Demikian pula gaji yang diberikan sebesar puluhan hingga ratusan juta per bulan. Karena mendapat fasilitas nyaman dan gaji tinggi, tentu sulit bagi petinggi LK untuk berbaur ke tengah masyarakat dengan kondisi kekurangan. Kunjungan mereka akan lebih mirip kunjungan seorang pejabat daripada kunjungan pekerja kemanusiaan.Â