Aku adalah tulang yang terbalut daging. Dibentuk secara sempurna oleh Tuhan hingga dinamai manusia. Betapa Tuhan Maha Baik, menciptakan manusia dengan begitu sempurna. Tuhan tak hanya menciptakanku, melainkan ribuan bahkan jutaan umat manusia dengan keberagaman.
Tuhan menjadikan manusia sebagai makhluk sosial, membutuhkan manusia lain selain dirinya. Keluarga, pertemanan, kehidupan bertetangga dan bentuk sosial yang lain. Sebagai manusia, aku pun tak luput dengan segala lingkup sosial di dunia.
Aku kini beranjak dewasa. Sebuah fase dimana telah melewati banyak sekali hubungan sosial, terkhusus hubungan pertemanan. Aku bukan termasuk golongan orang yang famous dalam lingkungan. Aku hanya manusia yang ikut di dalam sebuah lingkup manusia yang lebih ramai.
Aku tak memiliki banyak teman, hanya segelintir orang saja. Itupun, kalau mereka mengakuinya. Aku seakan terjebak dalam pertemanan tiga orang. Tau kan, seperti apa kondisi pertemanan tiga orang? Selalu ada salah satu yang terasingkan. Layaknya segitiga, hanya ada dua sisi yang sejajar, mustahil ketiganya sejajar.
"Ayo besok main, aku boncengan sama si A, kamu naik motor sendiri, terus berangkat bareng-bareng."
Kalimat yang selalu terucap dari mulut seorang teman dalam hubungan tiga orang. Tidak satu kali maupun dua kali, namun setiap hari, setiap momen dan setiap waktu. Juga, aku sebagai sasaran utama kelicikan mereka.
Ditinggal, diabaikan, dimanfaatkan, sudah menjadi makanan sehari-hari. Namun, aku adalah tempat pertama mereka mengorek kebusukan satu sama lain. Lucu, bukan? Mereka bersama beberapa waktu lalu, kemudian silih berganti mereka datang hanya untuk menyampaikan kebusukan dalam hati mereka.
Hingga akhirnya, aku muak dengan semuanya. Aku menjelma menjadi pribadi yang masa bodoh terhadap mereka. Aku selalu ada saat mereka butuh, aku mendengarkan mereka saat berkeluh kesah, namun aku tak mau masuk terlalu dalam pada zona pertemanan itu. Kubiarkan saja mereka sesuka hati bersilat lidah dibelakangku, aku sungguh tak peduli.
Aku menatap tiga orang anak kecil, di tengah taman yang cukup luas. Mereka bermain petak umpet. Tiga orang anak. Aku terus saja memandangi bagaimana interaksi mereka. Salah satu dari mereka adalah tumbal pertemanan. Sudah sepantasnya, petak umpet bergiliran berjaga saat salah satunya tertangkap mata dipersembunyian. Nyatanya, hanya satu orang anak yang setia berjaga di sana, tentu saja dengan raut wajah kecewa dan kesal.
"Aku capek, masa aku terus yang jaga, aku mau istirahat ajalah."