Gendruwo Ijo mendekat, langkahnya berat, tanah bergetar seakan bumi menahan napas.
Lalu---perlahan---sosok itu berubah. Tubuhnya mengecil, bulunya lenyap, matanya meredup. Dari kabut tubuhnya muncul wajah yang mereka kenal: Â *Mbah Sugiyem*. Wajahnya lembut, matanya teduh, meski masih diselimuti kabut gaib.
*Pesan dari Alam Gaib*
_*"Anak-anakku..."*_ suara itu parau, tapi lirih, seolah keluar dari dasar sungai. _*"Jangan takut... Aku datang bukan untuk menakutkan... tapi untuk mengingatkan.""_
Marsinah dan Paimin menunduk, menahan air mata. Anak-anak hanya bisa memeluk erat ibunya.
_*"Didiklah anak-anakmu dengan bahasa cinta. Jangan hanya dengan perintah. Apalagi bentakan. Â Peluklah mereka, ucapkanlah terima kasih untuk setiap kebaikan kecil. Karena kata-kata adalah doa yang berakar di hati."*_
Sosok itu berhenti sejenak, lalu suaranya dalam, menggema:
"Dan bangunkanlah mereka di sepertiga malam... ajaklah mereka shalat tahajud. Di situlah jiwa mereka akan ditempa. Terima kasih bukan hanya untuk manusia... tapi juga untuk Allah."
Setelah itu, sosok Sugiyem memudar. Bau anyir lenyap, suara bambu kembali tenang, anjing-anjing berhenti menggonggong.
*Warisan Mbah Sugiyem*
Sejak malam itu, keluarga Sugiyem berubah. Di kala fajar belum merekah, suara lirih terdengar dari rumah kayu di tepi kali Brantas: doa-doa yang naik bersama kabut, suara anak-anak kecil yang belajar bersujud.
Mereka tumbuh bukan hanya dengan kata _terima kasih_ kepada sesama, tetapi juga dengan rasa syukur yang dalam kepada Pencipta. Dan di setiap doa tahajud, Marsinah merasa ada bayangan lembut yang ikut menunduk  ---arwah Sugiyem, yang kini damai, karena anak, menantu, dan cucunya telah berjalan di jalan yang benar.