Bahasanya keras seperti palu menempa besi. Padahal, anak-anak kecil tak paham arti _sehat, sakit_ , atau  _ganteng_.
Putrinya, *Marsinah*, memilih jalan lain. Ia menanamkan bahasa lembut pada anaknya, *Martilah*:
"Terima kasih ya nak, sudah makan banyak."
"Terima kasih nak, makannya rapi."
"Terima kasih sudah mandi."
"Terima kasih sudah baik sama teman."
Marsinah mengucapkannya sambil memeluk erat, seakan ingin menyalurkan kasih lewat kulit, darah, dan tulang. Ia percaya, pelukan lebih fasih dari seribu kata.
*Kematian yang Sunyi*
Suatu pagi yang kelabu, ketika embun menetes dari daun jati, *Mbah Sugiyem menghembuskan napas terakhir*. Tanpa sakit, kata Pak Kiai Syakri --karena masuk angin.
Kepergiannya Mbah Sugiyem seperti lampu minyak yang padam ditiup angin. Rumah kayu itu mendadak senyap.
Namun, beberapa malam setelahnya, suasana berubah.
*Gendruwo Ijo*
Di rumpun bambu dekat Sungai Brantas, muncul suara aneh: _krak... krak... krak..._ seolah batang bambu dipatahkan dari dalam. Bau anyir tercium, campuran amis darah dan bunga kamboja layu. Anjing-anjing menggonggong tanpa henti, ekornya diapit di sela kaki, menolak mendekat.
Anak-anak terbangun. *Bunari* berlari ke kamar ibunya, wajahnya pucat.  *Martilah* menangis, tubuhnya gemetar. Dari celah jendela, mereka melihat sesosok makhluk besar, berbulu hijau lumut, matanya merah menyala, tubuhnya mengeluarkan uap dingin  *---Gendruwo Ijo*.
*Sarkowi*, Â menantu laki-laki, menyalakan lampu sentir. Namun cahaya kuning temaram itu justru membuat bayangan makhluk itu tampak semakin besar, menutupi dinding bambu rumah.
Marsinah memeluk kedua anaknya erat, menahan gemetar di dadanya. "Astaghfirullah... apa itu...?" bisiknya.