Mohon tunggu...
Soetiyastoko
Soetiyastoko Mohon Tunggu... ☆ Mantan perancang strategi pemasaran produk farmasi & pengendali tim promosi produk etikal. Sudah tidak bekerja, usia sudah banyak, enerjik. Per 30 April 2023 telah ber-cucu 6 balita. Gemar menulis sejak berangkat remaja - Hingga kini aktif dikepengurusan berbagai organisasi sosial. Alumnnus Jurusan HI Fak.SOSPOL UNPAD, Angkatan 1975

Marketer, motivator yang gemar menulis, menyanyi dan membaca

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen Soetiyastoko | Pesan Gaib dari Sepertiga Malam

30 September 2025   09:58 Diperbarui: 30 September 2025   09:58 37
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bahasanya keras seperti palu menempa besi. Padahal, anak-anak kecil tak paham arti _sehat, sakit_ , atau  _ganteng_.

Putrinya, *Marsinah*, memilih jalan lain. Ia menanamkan bahasa lembut pada anaknya, *Martilah*:
"Terima kasih ya nak, sudah makan banyak."
"Terima kasih nak, makannya rapi."
"Terima kasih sudah mandi."
"Terima kasih sudah baik sama teman."

Marsinah mengucapkannya sambil memeluk erat, seakan ingin menyalurkan kasih lewat kulit, darah, dan tulang. Ia percaya, pelukan lebih fasih dari seribu kata.

*Kematian yang Sunyi*

Suatu pagi yang kelabu, ketika embun menetes dari daun jati, *Mbah Sugiyem menghembuskan napas terakhir*. Tanpa sakit, kata Pak Kiai Syakri --karena masuk angin.
Kepergiannya Mbah Sugiyem seperti lampu minyak yang padam ditiup angin. Rumah kayu itu mendadak senyap.

Namun, beberapa malam setelahnya, suasana berubah.


*Gendruwo Ijo*

Di rumpun bambu dekat Sungai Brantas, muncul suara aneh: _krak... krak... krak..._ seolah batang bambu dipatahkan dari dalam. Bau anyir tercium, campuran amis darah dan bunga kamboja layu. Anjing-anjing menggonggong tanpa henti, ekornya diapit di sela kaki, menolak mendekat.

Anak-anak terbangun. *Bunari* berlari ke kamar ibunya, wajahnya pucat.  *Martilah* menangis, tubuhnya gemetar. Dari celah jendela, mereka melihat sesosok makhluk besar, berbulu hijau lumut, matanya merah menyala, tubuhnya mengeluarkan uap dingin  *---Gendruwo Ijo*.

*Sarkowi*,  menantu laki-laki, menyalakan lampu sentir. Namun cahaya kuning temaram itu justru membuat bayangan makhluk itu tampak semakin besar, menutupi dinding bambu rumah.

Marsinah memeluk kedua anaknya erat, menahan gemetar di dadanya. "Astaghfirullah... apa itu...?" bisiknya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun