Inilah tragedi sunyi yang terjadi di banyak sudut rumah kita, di banyak sudut negeri ini.
Setiap anak yang mentalnya menyusut adalah sebuah potensi bangsa yang ikut menyusut. Sebab, kemajuan sebuah bangsa tidak hanya dibangun di atas pabrik dan jalan tol, saja. Â
Semestinya --terutama dibangun di atas personal skill rakyatnya---daya juang, kreativitas, empati, kemampuan bersosialisasi, dan kepercayaan diri yang teguh.
Keterampilan ini adalah mata uang sejati di abad modern, tetapi menjadi fondasi untuk sukses dalam pergaulan dan profesi apa pun.
Dan profesi yang paling mulia, profesi guru, adalah cermin yang paling jernih. Seorang guru yang tumbuh dari lanskap mental yang subur akan mampu menyirami ribuan benih lainnya. Anak-anak, generasi penerus--pengukir, riwayat Indonesia.
Sebaliknya, bayangkan jika guru-guru kita adalah produk dari lanskap yang kering? Bagaimana mereka dapat mengajarkan keberanian jika yang mereka kenal adalah ketakutan?
Bagaimana mereka menanamkan harga diri jika di dalam dirinya sendiri ada luka yang mengatakan mereka "tidak punya apa-apa"?
Oleh karena itu, panggilan ini bukan hanya untuk orangtua di ruang keluarga, tetapi untuk kita semua sebagai kekuatan politik dan sosial.
Negara harus hadir --bukan hanya untuk memenuhi perut, tetapi juga untuk memupuk jiwa.
Kampanye penyadaran harus digaungkan, bukan dengan teriakan, tetapi dengan narasi yang lembut dan membangun. Kita perlu membangun jembatan antara kebijakan dan meja makan, antara program pemerintah dan lanskap hati di setiap rumah.
Kita membutuhkan gerakan untuk mengajarkan bagaimana cara memberi *nutrisi moral dan mental* , bagaimana mengubah mantra "kita tidak punya" menjadi "kita punya usahamu, impianmu, dan kasih sayang kita." Ini adalah investasi yang paling strategis: membangun kekayaan mental dari tingkat yang paling dasar, keluarga.
***
*Kesimpulan*
"Mental miskin" adalah kemiskinan pola pikir, sebuah warisan sikap yang dapat membelenggu potensi anak.