Ini bukan soal apa yang tidak ada di dompet, tetapi apa yang absen di dalam hati dan pikiran---sebuah lanskap batin yang kekurangan nutrisi untuk pertumbuhan jiwa.
Seorang anak tidak membutuhkan istana untuk merasa aman. Ia membutuhkan kenyamanan bahwa dunianya tidak akan runtuh. Namun, ketika orangtua, dalam kegelisahannya, terus-menerus melantunkan mantra,
"Kita tidak punya apa-apa,"
yang mereka bangun bukanlah tembok pelindung, melainkan penjara ketakutan.
Setiap pengulangan kalimat itu adalah batu bata yang menutupi jendela harapan si anak.
Ucapan itu, meski lahir dari kecemasan yang nyata, bagai air asin di gurun. Semakin banyak diberikan, semakin hauslah jiwa kecil itu. Ia tidak memadamkan dahaga akan rasa aman, justru meracuni akar kepercayaan dirinya.
Anak itu belajar untuk tidak lagi memandang dunia sebagai hamparan peluang yang bisa dijelajahi, tetapi sebagai padang pasir gersang --yang luas dan mengerikan, di mana satu-satunya hukum adalah bertahan hidup, bukan menjadi besar.
Lanskap mental yang miskin ini tidak menghasilkan pepohonan yang kokoh, melainkan tunas-tunas yang keriput.
Tunas yang merasa tak berharga untuk menerima sinar matahari, tak cukup kuat untuk menembus tanah, dan terlalu takut untuk membentangkan dahan-dahannya ke angkasa.
Jangan buat mereka tumbuh dengan keyakinan yang patah. Bahwa hidupnya adalah tentang kekurangan. Bahwa mereka memang tidak layak untuk memiliki lebih, dan bahwa impian adalah kemewahan yang hanya untuk orang lain.
Wahai ayah dan ibu, ...
Jangan pernah tanamkan --keyakinan yang salah-- seperti itu. Di otak dan jiwa anak-anakmu. Anak bangsa kita. Katakan, hanya yang baik-baik. Kalian amat paham, bahwa :Â "Kata-kata adalah doa".