Pendidikan |  Eksistensi Penulis di Tengah Bayang-Bayang AI
DikToko
(Soetiyastoko)
Di malam  yang lengang, seorang penulis duduk di ruang tengah rumahnya. Sepertinya hujan baru saja reda, gelas susu jahe diletakannya, usai seteguk hangat yang menenangkan.
Di tangannya, sebuah tablet menyala, layar putih menunggu disentuh kata. Namun bayangan sebuah pertanyaan menggantung di kepalanya: "Apakah masih ada tempat bagi penulis di tengah gempuran kecerdasan buatan ?"
Pertanyaan itu muncul setelah membaca e-book seputar kepenulisan dan wabah yang menumbangkan bisnis bacaan berupa buku cetakan, Hardcopy.
Kini sulit mencari kios yang memajang koran, majalah dan buku. Tak ada lagi taman bacaan yang menyewakan buku. Bahkan banyak Perpustakaan hanya dipenuhi hantu.
Sementara ada paradok ironis: berita menyebut Indonesia krisis ISBN.
Sementara jumlah pembaca buku --konon hanya 0,1% (?) dari jumlah populasi nasional
ISBN _(International Standard Book Number)_ adalah nomor identifikasi unik yang diberikan kepada setiap buku yang diterbitkan. ISBN digunakan untuk membedakan buku satu dengan lainnya, serta memudahkan proses pengarsipan, pencarian, dan penjualan buku.
Lho, kok bisa krisis stok nomer ISBN ? Â Apakah ini karena membludaknya kelahiran buku baru di Indonesia ?
Dengan mata merem dan telinga ditutup, jawabnya adalah: "Yaa, Â betul sekali !"
Lho kok bisa ?
Ini seiring dengan kemajuan teknologi pencetakan secara digital --yang sanggup membuat buku dalam jumlah hitungan jari, bahkan cuma jari dari 1 tangan saja.
Tinjauan Biaya Cetak Buku
Penulis pernah membuat buku 350 halaman dengan softcover yang dilaminating per satuan 95 ribu  rupiah, jika pesan 10 eksemplar harganya turun jadi 90 ribu rupiah.
Sedangkan jika dicetak secara offset minimalnya 350 unit eksemplar harga per buku jadi  65 ribu.