Kalau aku tak bisa keluar dari bilik ini, setidaknya biarlah suaraku keluar.
Kalau aku tak bisa menjadi perubahan itu sendiri, biarlah aku menjadi awalnya.
Kalau aku tak bisa merdeka, biarlah anak-anak yang membaca suratku kelak, menemukan jalan ke sana.
Sebab aku percaya, Engkau tidak tidur. Dan Engkau tidak akan membiarkan terang-Mu padam.
Tidak dalam hidupku. Tidak dalam bangsa ini.
Suara Kartini memudar. Tapi gema pertanyaannya hidup sampai hari ini.
Berapa banyak anak perempuan di Indonesia hari ini yang masih bergumul dalam dilema yang sama?
Bakat dan potensi tumbuh, tapi tertekan oleh beban harapan keluarga, tekanan ekonomi, atau stereotip budaya.
Kita hidup di zaman yang katanya bebas, tapi tak semua hati sungguh merdeka.
Sebagai keluarga, tidakkah kita dipanggil untuk mendidik anak-anak kita dalam kebenaran, bukan hanya keberhasilan?
Pendidikan bukan sekadar akses. Itu adalah mandat. Dan keluarga adalah ladang pertama pendidikan itu.
Tapi adakah kasih dalam didikan kita? Adakah pengharapan yang kita tanam, atau hanya kekhawatiran yang kita wariskan?
Kartini tak sempurna. Tapi melalui surat-suratnya, Tuhan berbicara:
Bahwa terang itu tetap menyala, bahkan dari bilik yang paling sunyi.
Tulisan monolog reflektif bersumber dari surat-surat Kartini kepada kepada Stella (1901) dan Rosa Abendanon (1903), dalam buku Joost Cot, diantaranya,Â
- surat kepada Stella (1899): "Pendidikan adalah cahaya, tapi mengapa cahaya ini justru menyakitkan mataku?"
- surat kepada Abendanon (1903): "Kami perempuan dilahirkan hanya untuk menerima dan tunduk."
- surat kepada Stella (1900): "Aku tidak melawan ibuku, tapi aku bertanya kepada Tuhan dalam diamku."
- surat kepada Abendanon (1904): "Sistem ini menindas kami. Tapi aku percaya suatu hari, seseorang akan membebaskan kami.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI