Rani menghela napas. Tampaknya Hamid sedang tak bisa diajak bicara baik-baik. Biarlah nanti saja diskusinya ketika otak Hamid sedang berada di tengah.
     Hamid tampak lebih agresif setelah ia dan Rani tak bertemu selama dua tahun. Waktu mengubah manusia. Dan Rani sungguh bingung bagaimana menyikapi masalah ini. Untuk menolak getas, ia tak tega melihat sorot mata sendu Hamid yang kadang-kadang membayangi mimpi-mimpinya. Ia sadar dulu ia bersalah pada Hamid dengan pertunangannya yang mendadak dengan Dani. Tapi bagaimana mungkin ia affair dengan Hamid yang sudah beristri? Bagaimana jika istrinya melabrak Rani? Padahal Rani sangat menghindari konflik. Ia hanya ingin kuliah dengan tenang.
     Aduh, pening kepala Rani. Lebih pusing masalah cinta dari persamaan Termodinamika.
***
     "Hamid, ini tak benar. Kau sudah menjadi suami orang," bisik Rani. Akhir pekan ini Hamid kembali datang mengunjungi dirinya.
     Tanpa mengindahkan penolakan Rani, Hamid terus saja mencium gadis itu hingga tempat tidur Rani berderit. Hamid yang sedang mabuk kepayang, langsung duduk di atas bantal sofa dan menarik Rani ke atas pangkuannya.
      Rani merasa jengah. Wajahnya tepat berhadapan dengan Hamid hingga kornea mata Hamid yang jernih tampak begitu jelas.
      Tangan Rani tak bisa menahan kenakalan tangan Hamid yang aktif menggerayang. Dengan tenang, Hamid hendak membuka kancing gaun gadis yang dipujanya itu.
      "Hamid, kita tak boleh berbuat ini. Ingat istrimu."
      Pria berambut cepak itu malah menundukkan wajahnya dan menciumi kening Rani hingga protes lemahnya tak lagi terdengar. "Kau sangat cantik. Aku ingin mengingatmu dalam keadaan seperti ini. Aku ingin bersetubuh denganmu. Tak maukah kau menciptakan kenangan manis denganku?"
      Rani menggelengkan kepala. "Nggak berani aku melakukan hal itu denganmu. Takut."