"Hampir setiap malam ia melayangkan piring, mangkuk, dan entah apa padaku. Aku tak menduga sifat Desi berangasan seperti itu. Jauh berbeda dengan dirimu yang sabar. Aku menyesal tak berjuang keras untuk meraihmu."
    "Tak perlu kau sesali. Aku yang salah saat itu karena menuruti pilihan kerabatku."
    "Kau selalu seperti itu. Aku selalu bertepuk sebelah tangan. Tak pernah kau ingin meraihku. Rupanya, kau tak pernah mencintaiku."
    "Lalu, kau mengharapkanku untuk berkata apa? Kau sudah menikah dan memiliki anak."
     Hamid tertegun. Ia tak mengharapkan sambutan Rani yang sedingin es. Maka, ia pun mencium Rani hingga gadis itu terkesiap dan meleleh dalam pelukannya. Ia menatap Rani dalam-dalam seolah-olah mencari apakah ada rasa cinta di dalam kedua iris cokelat kelam yang masih dicintainya itu. Ia memang pria labil. Tak pernah bisa benar-benar melupakan cinta pertamanya yang bergejolak pada Rani.
     "Sayang, aku masih tak bisa melupakanmu. Setiap malam aku selalu teringat padamu. Aku tak ingin melepaskanmu lagi."
     Rani terperangah. Masa Hamid masih menaruh hati padanya? Setelah semua hal yang terjadi? Ia tak punya keberanian untuk melakukan affair dengan Hamid.
     "Hamid?"
     "Apa?"
     "Kau yakin dengan perasaanmu? Mungkin kau merasa rindu padaku hanya karena kau sedang bertikai dengan istrimu. Dan perasaanmu akan kembali berubah ketika mendapatiku tak sesuai dengan harapanmu."
     Sinar mata Hamid yang tadinya lembut, berubah sekeras besi. "Kau selalu saja meragukan perasaanku. Padahal kau sendiri yang ragu akan dirimu. Kau masih saja tak mencintaiku. Yah, aku mengerti. Mana mungkin kau mencintai diriku yang melarat. Tapi sekarang aku berbeda, Ran. Aku tak akan menerima begitu saja penolakanmu."