Hari sabtu aku masuk setengah hari, biasanya aku narik ojek online untuk nambah uang beli susu. Lumayan hasilnya, usaha ini tak perlu modal baru asal punya motor yang sehat. Setelah mengantar penumpang ke stasiun Manggarai aku nongkrong di warung Indomie, disitu banyak 'ojekers' online.
Biasanya sambil memesan kopi hitam seharga 3000 rupiah sesama kami ngobrolin apa saja. Mulai harga BBM, motor terbaru, kebijakan bonus perusahaan, harga handphone termurah dan terbaru.
Ada satu yang menarik adalah soal 'aplikasi tuyul' yang banyak dipakai oleh ojekers online. Aku sendiri tak paham, agak sulit memahaminya, katanya dengan cara mengakali aplikasi GPS di hanphone. Sehingga order terdekat selalu digaet meski di situ ada ojekers online lainnya.
Ternyata di kalangan pengemudi online pun terjadi persaingan tidak sehat, berebut order secara tidak jujur. Fakta hal itu agak sulit dibuktikan kebenarannya.
"Anto dari tadi nggak berhenti ordernya?", kataku pada Parno yang duduk di sebelahku.
"Dia pakai aplikasi tuyul", jelasnya.
"Maksudnya?", tanyaku.
"Itu lho aplikasi khusus yang dipasang agar GPS hanphone cepat terdeteksi oleh kantor", jelas Parno.
"Ohh gitu?" , tanyaku.
"Ya, begitulah kalau mau pasang bayar 100 ribu, biasanya orangnya kesini', ujarnya.
Aku berpikir untuk pasang juga aplikasi tuyul ini, tapi untuk apa. Toh aku tidak tiap hari narik, kecuali aku rutin narik. Kalau dipikir kasian juga pengemudi online, kita mengambil rejeki orang lain yang tak lain teman kita sendiri.
"Enggak, ahhh jalani saja sedapatnya rejeki", pikirku
"Tit..tit..", notifikasi hanphone berbunyi. Ada order masuk untuk mengantar makanan dari sebuah restoran.
"Lumayan", pikirku. Order antar makan, pengemudi dapat poin lebih dibandingkan antar orang. Cuma resikonya kalau belum dibayar online lebih dulu oleh pelanggan dan saat antar makanan tidak ketemu, pengemudi nombok.Â
Pernah satu kali dapat order antar makanan fiktif, alamat peng-order tidak ketemu. Terpaksa makanan yang sudah terbayar aku bawa pulang.
"Makanan darimana, Mas", tanya istriku.
"Tadi dapat order fiktif, nggak ketemu alamatnya", jelasku.
"Ohhh gitu, ya sudah kita makan sendiri, aku belum pernah makan ini", jawab istriku dengan muka cerah.
Hitung - hitung bahagiakan istri, selama ini aku belum bisa membahagiakannya. Tanti sendiri tidak pernah menuntut macam - macam, inilah yang membuat aku bersemangat untuk berjuang.
Makanan yang aku bawa pulang adalah martabak aneka rasa yang sangat terkenal, yaitu "Markobar". Gerai martabak milik anak pertama Presiden RI, Bapak Joko Widodo.
Tak habis pikir, kenapa seorang anak Presiden RI mau capek - capek bisnis makanan, kalau dia mau bisa supply catering atau ikut proyek - proyek infrastruktur bapaknya.
Mungkin sudah begitu watak keluarga Bapak Jokowi, anak - anak dididik untuk mandiri sejak kecil. Meski bapaknya menjadi pejabat dari Walikota sampai Presiden, anak pertama Presiden tak mau ikut proyek pemerintah.
Aku meluncur ke arah  sebuah restoran Cina  yang tak jauh dari lokasi nongkrong.Â
Sesampainya disana aku menunjukkan kode order dan mencocokan dengan kode yang dipegang pengelola resto. Lalu pelayan restoran memberikan bungkusan plastik, aku chek alamat tujuan berada di seputaran Menteng.
Sehabis mengantar pesanan aku cari tempat tongkrongan baru yang kira - kira ramai. Akhirnya aku putuskan untuk parkir motor di Situ Lembang, kawasan favorit di kawasan Menteng untuk sekedar melepas penat.
Di kawasan ini ada danau kecil, di sekelilingnya ditumbuhi pohon - pohon besar yang rindang. Dari siang sampai malam selalu ramai dengan anak - anak nongkrong, apalagi kalau malam Sabtu.
Di pinggir - pinggir danau banyak gerobak makanan yang menjual aneka makanan dan minuman. Pada hari kerja kawasan ini dipenuhi salesman istirahat dan makan siang. Tak sedikit juga pegawai kantor yang makan siang sambil duduk di tepian danau.
Danau ini dikelilingi jalan beraspal dan rumah - rumah bagus. Kebanyakan bermodel lama, mungkin gaya 60-an. Rata - rata mempunyai halaman, teras yang lega serta berdinding tembok tebal.Â
Di halaman depan ada taman kecil serta satu buah pohon besar. Sebuah rumah ideal, kontras dengan kondisi kontrakanku. Mungkin kontrakanku hanya seluas ruang tamu rumah - rumah itu.
Aku tak berani bermimpi punya rumah seperti itu, meski menginginkannya. Tidur lagi ahh...
Sebelumnya :
- Balada 1
- Balada 2
- Balada 3
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI