Mohon tunggu...
Sigit Budi
Sigit Budi Mohon Tunggu... Wiraswasta - Blogger ajah

blogger @ sigitbud.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Balada Sebuah Impian Warga Jakarta (5)

16 Oktober 2017   12:06 Diperbarui: 16 Oktober 2017   12:51 1287
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Stasiun Kereta Api di Batu Tulis dimana kami turun kereta sebelum naik omprengan

Batutulis di Kabupaten Bogor Selatan, Jawa Barat itulah nama tempat kelahiran istriku,  Tanti seorang wanita yang aku kenal 5 tahun lalu. Seorang wanita dengan kulit cerah layaknya wanita Sunda. Berparas biasa, tidak  cantik banget tapi tidak jelek juga. Buat aku sosok Tanti adalah wanita paling cantik selain ibuku, dia bisa menerima aku apa adanya. Konon daerah Batu Tulis adalah ibu kota Kerajaan sunda Kuno, yakni Pajajaran yang berdiri sekitar tahun 1533 Masehi. Daerah ini juga populer ketika Proklamator RI, Bung Karno sebelum meninggal mewasiatkan agar dikuburkan di Batu tulis. Faktanya pemerintah Orde Baru tidak menghendaki dimakamkan di sana, justru jenasah dikebumikan di Blitar, jawa Timur asal Bung Karno. 

Biasanya kami sekeluarga bila ingin ke kampung istri naik kereta Commuter Line dari stasiun Manggarai menuju stasiun Bogor, dari sana kami menumpang kereta api jurusan Sukabumi yang melewati stasiun Batu Tulis. Barulah kami menggunakan kendaraan omprengan untuk menuju ke desa tempat istriku. Bersama - sama aku dan Tanti sudah melewati rumah tangga selama 5 tahun. Kini kami dikaruniai 2 anak 2 thn dan 4 thn.  Anak pertama laki - laki, aku beri nama Karunia Perkasa. Anak ini karunia terindah rumah tangga kami. Anak kedua, Dian Sulistyarini, seorang cewek, "Dian" artinya lampu dan "Sulistyarini" adalah paras yang indah. Aku berharap Dian bisa menjadi sumber  cahaya keluarga kami.

Aku dan Tanti,  kami pernah satu kantor, dia bagian administrasi gudang, sedang aku di bagian produksi. Mungkin karena ketemu setiap hari untuk urusan pekerjaan,  seperti order kertas, tinta atau material yang berkait dengan produksi percetakan membuat kami lebih dekat. Setelah kami menikah salah satu dari kami harus keluar, begitulah peraturan kantor. Ada baiknya aturan ini untuk mencegah "kongkalikong" yang bisa merugikan perusahaan. Tanti memutuskan keluar sedang aku tinggal, bagaimana pun suami adalah pencari nafkah, begitulah kodratnya.

Kebetulan aku dapat bos yang baik dan bijak, tapi disiplin. Dia seorang keturunan Cina, Bangka. Merantau ke Jakarta akhirnya sukses di bisnis percetakan dan digital printing. Aku sendiri di divisi printing, setiap Sabtu,  kami karyawan berkumpul dengan Bos untuk membicarakan semua persoalan yang berkait urusan pekerjaan. Pak Glen, nama bosku sangat teliti, setiap masukan dan keluhan karyawan dia catat dengan detail, minggu depannya biasanya sudah ada solusi. Itulah yang membuat kami betah selain fasilitas kesehatan dan pendidikan anak bagi karyawan yang sudah menikah. Setiap anak karyawan maksimum 2 disubsidi asuransi pendidikan 100 ribu,  soal kesehatan kami mendapat fasilitas asuransi BPJS milik pemerintahan untuk bangsal kelas 2. Lumayan buat orang - orang seperti kami, setidaknya perusahaan memperhatikan kebutuhan pokok karyawan.

Aku sudah tidak berharap dapat mempunyai rumah lagi di Jakarta setelah pemberitaan di media online yang sempat kubaca saat mengikuti acara perpisahan Gubernur DKI Jakarta, Bapak Djarot. Orang tuaku tidak memberikan warisan apa pun, mereka hanya keluarga sederhana yang menekuni warung makan kecil di rumah kontrakan kami dulu di belakang Pasar Rumput. Aku lima  bersaudara, aku sendiri anak nomer 3, kakakku dua - dua cowok, mereka menekuni profesi sebagai sopir Trans Jakarta. Awalnya mereka adalah sopir Metromini No. 66  jurusan Manggarai - Blok M, sejak Pemda DKI Jakarta serius mengelola Trans Jakarta, kedua kakakku beralih ke sopir bis Trans Jakarta. 

Kondisi ekonomi keluarga mereka sekarang lebih makmur, dulu penghasilan sebagai sopir Metromini tidak jelas, kadang bagus kadang "jeblok", setelah di Trans Jakarta penghasilan menjadi pasti. Memang tidak besar untuk ukuran manager atau karyawan di perusahaan asing, bagi kami keluarga sederhana penghasilan tetap setiap bulan setara UMR pun sebuah kemewahan. Apalagi pendidikan keluarga kami tidak tinggi, paling tinggi SMK, itu pun yang beruntung aku dan adik - adikku. Sedangkan kedua kakakku hanya tamatan SMP, sehingga patut disyukuri sekarang mereka sudah bisa hidup mapan.

Hari ini aku lihat di berita TV Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih akan dilantik oleh Presiden di Istana, kabarnya mereka akan bertemu dengan warga Jakarta di Gedung Balaikota DKI Jakarta. Aku ingin juga melihat suasana kemeriahan itu, apakah lebih meriah saat pendukung Bapak Anies dan Sandy saat berkampanye lalu. lalu aku jadi ingat Habieb Rizieq, setiap hari nama dan wajahnya selalu disebut dan ditayangkan di Televisi dan media online. 

"Kemana, ya Bapak itu, kok suara pidatonya yang menggelagar tidak lagi terdengar di media?", pikirku. Aku memang tidak aktif mengikuti pemberitaan media, maklum hanya kuli yang setiap hanya berkutat dengan pekerjaan kasar dan keluarga. Jadi tidak begitu penting perkembangan informasi buat aku, lebih penting adalah bagaimana bisa menyediakan kebutuhan pokok keluargaku. 

Iseng - iseng aku bertanya kepada salah seorang temanku di kantor. 

"Rud, kemana ya Habieb Rizieq, kok lama tidak terdengar?", tanyaku.

"Wah, payah, kurang update",jawab Rudi.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun