Arisan dimulai dengan canda tawa yang dibuat-buat, seperti biasa. Lia Chandra datang dengan tas Gucci terbaru, berjalan dengan anggun tapi dengan ekspresi yang sedikit tegang.
 Alya Santoso, tetangga baru, tampak canggung dalam gaun sederhana yang jelas bukan dari butik elit. Sita Rahayu datang terlambat, rambutnya masih acak-acakan, membawa aroma kerepotan ibu tiga anak.Â
 Dan tentu saja, ada tetangga lain---para istri pengusaha, dokter, dan pejabat kecil---yang saling berlomba memamerkan perhiasan atau cerita liburan ke Bali.
 "Rina, rumah kamu selalu bikin iri," kata Anita, istri dokter yang selalu berusaha menyaingi Rina. "Apa sih rahasianya? Aku coba dekor ulang ruang tamu, tapi kok nggak pernah sebagus ini."
 Rina tersenyum, tangannya memegang gelas martini dengan anggun. "Cuma soal perhatian pada detail, Anita. Kamu tahu, aku suka semuanya teratur." Tetangga tertawa, tapi Rina merasa ada tatapan yang berbeda dari Lia.
 Lia, yang biasanya cerewet dan penuh pesona, malam ini pendiam, matanya sesekali melirik ke luar jendela, ke arah taman tempat Jono biasa bekerja.
 Gosip tentang Mira tak bisa dihindari. "Kalian dengar nggak, katanya polisi nggak yakin Mira bunuh diri," bisik Anita, suaranya sengaja dibuat dramatis.
 "Ada yang bilang dia sempat bertengkar sama seseorang sebelum kejadian."
 "Bertengkar sama siapa?" tanya Sita, alisnya terangkat. Rina memperhatikan bagaimana Sita memainkan serbet di tangannya, tanda ia sedang gelisah.
 "Entah siapa, tapi katanya tetangga dekat," jawab Anita, matanya melirik ke arah Lia. Lia tersedak minumannya, berusaha menutupi dengan tawa kecil.
 "Yah, orang suka ngarang gosip, kan," kata Lia, tapi suaranya terdengar dipaksakan. Rina mencatat itu dalam pikirannya. Lia menyembunyikan sesuatu, dan Rina, yang terlatih membaca orang, bisa merasakannya.