Mohon tunggu...
S Eleftheria
S Eleftheria Mohon Tunggu... Lainnya - Penikmat Literasi

***NOMINEE BEST IN FICTION 2023*** --- Baginya, membaca adalah hobby dan menulis adalah passion. Penyuka hitam dan putih ini gemar membaca tulisan apa pun yang dirasanya perlu untuk dibaca dan menulis tema apa pun yang dianggapnya menarik untuk ditulis. Ungkapan favoritnya, yaitu "Et ipsa scientia potestas est" atau "Pengetahuan itu sendiri adalah kekuatan", yang dipaparkan oleh Francis Bacon (1561-1626), salah seorang filsuf Jerman di abad pertengahan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Membeli Kebahagiaan

2 Januari 2023   21:08 Diperbarui: 6 Januari 2023   11:24 1048
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi botol kebahagiaan|by pixabay

Selembar poster. Aku melihatnya terkait di wiper kaca depan mobilku. Seseorang pasti telah menaruhnya di situ. Segera kuambil dan kubaca tulisannya. Dijual Botol Kebahagiaan! Telepon sekarang juga! Di bawah teksnya terpampang nomor telepon. Aku menyimpannya di laci dashboard karena kupikir itu lucu. Aku ingin menunjukkannya kepada Emilia begitu sampai di rumah.

Hari kerja yang panjang dan melelahkan dalam perjalanan pulang hingga ke rumah. Aku terjebak pada keadaan ruangan yang berantakan. Mainan-mainan putriku berserakan di lantai. Emilia sedang masak di dapur dan dia memintaku untuk segera mandi sebelum makan malam.

"Ibu minta dikunjungi akhir pekan," katanya saat menghidangkan menu malam untukku.  

Aku belum bisa menjawabnya apakah aku bisa ikut pergi atau tidak. Emilia mendengkus pelan. Mungkin dia memaklumi kesibukanku sehingga tidak berkata-kata lagi. Istriku itu sudah jarang bicara, aku juga, karena lelah atau memang tidak ada yang ingin kami bicarakan. Padahal, dulu apa saja bisa menjadi bahan obrolan kami.

Selesai aku makan, Emilia mencuci piring, membuang sampah ke tong besar di depan rumah, mengumpulkan pakaian kotor, merapikan ruangan, serta menyimpan mainan-mainan yang berserakan ke dalam kotak berwarna merah jambu. Itu aktivitas setiap malam yang sama persis dilakukannya.

Aku menonton televisi. Sesekali sibuk dengan ponselku untuk mengecek kiriman email dan membaca-baca berita online di sana. Hari sudah malam, begitulah, hingga kami tidur, aku melupakan poster itu.

Paginya, aku terbangun dari tidur dengan posisi punggungku dan punggung istriku saling membelakangi. Emilia masih terlelap. Biasanya, saat aku bangun, dia tidak ada di tempat tidur karena menyiapkan keperluanku sebelum ke kantor. Aku tidak ingin membangunkannya. Dia kulihat lelah sekali. Maka diam-diam aku bangkit dari tempat tidur, mempersiapkan segalanya sendiri. Dengan hati-hati aku keluar pintu kamar, pintu depan, mengenakan sepatu, lalu menyalakan mobil dan menuju ke tempat kerja.

Di kantor aku memperbarui laporan keuangan perusahaan. Perusahaan membayarku sebagai akuntan untuk pekerjaan sembilan jam sehari menatap layar komputer dengan memasukan angka-angka ke dalam sheet pengolahan data.

Sebagian besar situasinya mirip kemarin, tetapi hari ini aku dapat menyelesaikan pekerjaan dengan cepat sehingga keluar kantor lebih awal. Jumat memang kebanyakan pegawai pulang lebih cepat. Wajah-wajah mereka semringah, entah apa yang mereka rencanakan untuk akhir pekan.

Aku berpikir tentang kehidupanku. Dulu, ketika muda, aku selalu bermimpi bepergian dengan ransel di punggung, melintasi pulau dan semua tempat eksotik di negeri ini. Aku suka jalan-jalan menikmati alam. Rasanya seperti berpetualang tanpa beban, tanpa harus memusingkan tanggung jawab.

Kenyataannya, beberapa rencana hidup pribadiku harus ditunda. Aku bertemu Emilia. Kami saling jatuh cinta dan menjalin hubungan. Kemudian hubungan kami berubah menjadi pernikahan. Kami memiliki bayi, lalu seperti merasakan hidup dalam waktu singkat, tiba-tiba bayi kami sudah tumbuh dan harus mendaftarkannya sekolah. Tidak ada yang kupikirkan lagi selain harus mendapatkan pekerjaan dengan gaji yang lebih baik dan bekerja lebih lama untuk mencukupi biaya hidup keluarga. Biaya hidup makin hari tidak bisa dikatakan kecil untuk segala kebutuhan, termasuk perawatan rumah, kendaraan, air, listrik, sekolah, kesehatan, ini, itu, dan beberapa lainnya, bahkan yang tidak terduga sekalipun. Semua itu harus aku sanggupi dengan bekerja, bahkan terkadang harus mengambil lembur.  

Ini bukan sebuah penyesalan dan menunjukkan kesedihanku untuk dikasihani. Aku hanya mengatakan bahwa meski tidak ada masalah besar, kehidupanku tidak benar-benar memuaskan. Tentang pernikahan, aku tidak menyebut diriku sebagai orang yang bahagia. Maksudku, tentu saja aku mencintai Emilia dan kami masih melakukan hubungan suami-istri. Hanya, kami tidak memiliki percikan gairah seperti di awal-awal---aku merasakan perubahannya.

Poster tentang iklan kebahagiaan masih ada di laci mobil. Aku benar-benar tidak tahu apa yang kupikirkan, tetapi kuputuskan untuk menelpon nomor di kertas tersebut.

Sebuah pertanyaan tiba-tiba muncul di kepalaku. Apa benar kebahagiaan dapat dibeli? Jika ya, orang-orang berduit tentu paling berpotensi berbahagia karena bisa membelinya dalam jumlah besar. Lantas, orang-orang miskin akan terus merana, tidak kebagian jatah bahagia. Itu artinya dunia sungguh tidak adil, padahal kata orang alim, kebahagiaan itu hanya milik orang-orang yang bersyukur, mau kaya, mau miskin, semua bisa bahagia, semestinya.

Tiba-tiba tanganku gemetar. Iklan itu mungkin saja sebuah lelucon. Kebahagiaan yang dimaksud tidak begitu jelas. Apakah kemudian seseorang akan mengangkat teleponku dan berkata, "Apakah Anda ingin bercinta dengan saya?" Bukankah profesi penjaja cinta bisa juga diasumsikan sebagai penjual kebahagiaan? Ya, Tuhan, ide kebahagiaan di kepalaku buruk sekali.

Nomor telepon itu sudah terlanjur kuhubungi dan hanya berdering sekali sebelum seseorang mengangkatnya. Aku tidak bisa mengurungkannya. "Halo, ada yang bisa saya bantu?" Suara seorang wanita terdengar di telingaku.

"Ya, sa-saya menelpon tentang postermu."

"Oh, luar biasa. Kami memang menjual botol kebahagiaan. Kapan Anda mau mengambilnya, Pak? Kita bisa bertemu di suatu tempat."

Hari masih sore, jadi aku bisa mengambil botol kebahagiaan itu sebelum pulang. Emilia tidak kuberitahu---biarlah dia tahu apa-apa dulu.

Ide wanita itu bertemu di tempat umum menurutku bagus. Tentunya, aku tidak ingin menjadi korban penipuan atau tiba-tiba itu adalah jebakan. Tempat umum yang kami putuskan adalah tempat parkir Starbucks sekitar tiga kilometer dari kantorku. Aku menuju ke sana meskipun tidak berpikir benar-benar akan membeli sebotol kebahagiaan tersebut.

Aku berkeyakinan sembilan puluh sembilan persen bahwa botol itu berisi obat-obatan. Namun, bagaimana jika yang dia jual itu adalah serbuk heroin? Oh, tidak ... tidak. Mungkin memang ada jenis obat-obatan  yang bisa membuat seseorang bahagia. Maksudku, ya semacam ramuan obat.

Sesuatu di dalam diriku mengatakan untuk terus menuju ke tempat perjanjian---dan aku melakukannnya. Setiba di Starbuck, aku keluar mobil dan berdiri di area parkir, lalu mengirimkan pesan kepada wanita penjual botol kebahagiaan itu.

"Saya sudah sampai."

"Tunggu sebentar, Pak. Camry hitam saya menuju ke sana."

Lima belas menit menunggunya, mobil yang disebutkannya datang dan mengambil tempat parkir tidak terlalu jauh dari tempatku berdiri. Aku dapat melihat tidak ada orang lain di dalam mobil itu sekaligus menghilangkan ketakutanku akan penculikan.

Seorang wanita keluar dari mobil dan berdiri melihat sekeliling sampai matanya bertemu denganku. Aku mengangguk kecil dan dia menghampiriku seraya tersenyum.

Wanita itu masih muda, mungkin pertengahan dua puluhan. Rambutnya keriting dan dicat dengan warna cokelat terang. Kulitnya putih dan kontras dengan pakaian serba hitam yang dikenakannya. Dia tampak seperti penyihir baik yang mengenakan pakaian penyihir jahat.

"Hari yang menyenangkan. Saya Rosela," katanya sebagai salam, "Andakah yang menelpon saya?"

Aku mengangguk dan dia tersenyum. Senyumnya sungguh manis dan dia memang wanita yang terlihat menarik. Sebagai marketer memang harus menarik kurasa.

Rosela memberiku botol yang sangat kecil seukuran ibu jariku. Di dalam botol itu ada cahaya merah. Setelah kuamati, itu bukan bola lampu melainkan hanya tabung kaca yang bersinar, seperti matahari kecil di siang hari. Aku mengaguminya tanpa berusaha menyembunyikan kekaguman di wajahku. Inikah kebahagiaan yang dimaksud?

"Apa yang harus saya lakukan dengan benda ini?"

"Simpan saja," katanya, "jika ada masalah, kirimi saya pesan." Rosela lantas berbalik arah dan berjalan ke mobilnya.

"Tunggu! Bukankah benda ini dijual? Berapa harganya?"

"Jangan khawatir, Anda bisa membayarnya nanti," katanya sebelum pergi dengan mobilnya.

Apa yang baru saja terjadi? Aku melihat ke botol itu lagi. Pancarannya benar-benar memesona. Aku memasukannya ke dalam saku dan bisa melihat cahayanya sedikit melalui celanaku sebelum memutuskan untuk pulang.

Hari yang tadinya cerah tiba-tiba berubah menjadi gelap dengan awan hitam menyelimuti langit. Karena kuperkirakan akan turun hujan deras, aku melaju sedikit lebih kencang. Akhirnya sampai juga di depan rumah. Hujanpun turun.

Aku mengetuk pintu dan memanggil Emilia dengan suara keras agar dia bisa mendengarkan suaraku yang beradu dengan bunyi hujan. Saat pintu dibuka, aku disambut oleh seorang pria bertubuh jangkung dengan rambut keriting dan janggut seperti tidak terawat.

"Mencari siapa, Bung?"

Mencari siapa? Pertanyaan yang kurang sopan menurutku. Seharusnya aku yang bertanya mengapa dia ada di rumahku. Seketika aku mencium sesuatu yang tidak sedap tentangnya, tentang Emilia. Dadaku bergemuruh. Pikiranku membayangkan mereka berbuat yang tidak-tidak ketika aku tidak di rumah. Jika memang Emilia bermain curang di belakangku, tentu aku tidak akan bisa memaafkannya.

"Ini rumahku. Anda siapa?"

"Oh, Anda yang salah rumah, Bung."

Pria itu tertawa kecil, tetapi aku merasa dia seperti mengelabuiku. Maka sebelum dia menutup pintu, aku menubruknya dan segera masuk ke rumah.

Aku tahu ini rumahku, tidak mungkin salah. Aku sudah lama berada di rumah ini selama lima tahun hingga sekarang. Aku berteriak-teriak memanggil Emilia, mencarinya ke seluruh ruangan, tetapi dia tidak ada, putriku juga tidak ada. Kemanakah mereka?

Aku kemudian tersadar. Dari apa yang kulihat di dalam, kamarku berubah, perabotan berubah, dinding pun dicat dengan warna berbeda, semuanya berbeda. Benarkah ini memang bukan rumahku? Pada saat ini keadaan tidak ada yang masuk akal. Kepalaku seperti terbentur dan aku terbius. Aku keluar rumah meninggalkan pria berjanggut itu yang memandangku dengan wajah melongo.

Aku mengeluarkan ponsel untuk menelpon Emilia agar istriku itu bisa menenangkan kebingunganku, tetapi kontaknya tidak ada. Nyatanya tidak ada apapun di ponselku, tidak ada pesan-pesan, tidak ada panggilan sebelumnya, tidak ada gambar-gambar. Sepertinya ponselku telah distel ulang ke pengaturan pabriknya. Apakah Rosela benar-benar wanita penyihir dan melakukan sihirnya ketika aku tidak melihatnya?

Aku harus kembali ke kantor. Semua kontak telah kucadangkan di komputer kerja. Hujan masih turun tapi aku menerjangnya. Sepanjang perjalanan ke kantor, aku bertanya-tanya apa yang sebenarnya terjadi. Kepalaku berdenyut-denyut. Begitu sampai di kantor, aku pun dihadang oleh penjaga di sana.

"Maaf, Pak. Kantor sudah tutup," katanya.

"Ya, saya tahu. Tapi ada benda yang tertinggal di meja kerja saya."

Ketika kukatakan aku akan masuk sebentar, penjaga kantor itu meminta kartu aksesku. Ini benar-benar seperti kejutan yang menyebalkan, kartu itu tidak kutemukan di dalam dompet. Penjaga itu memintaku untuk menyebutkan nama lengkapku dan departemen tempatku bekerja di kantor.

Penjaga itu mencatatnya. Dia menghubungi seseorang dengan ponselnya. Lima menit kemudian, dia kembali berbicara kepadaku.

"Maaf, Pak. Informasinya, kantor ini tidak memiliki karyawan bernama Pranaga Abyasa. Apakah Anda punya janji dengan seseorang?"

Aku mundur, terkejut, hampir tersandung kakiku sendiri. Aku baru saja berada di kantor ini beberapa jam yang lalu. Apa yang terjadi kepadaku? Aku merasa seperti terkena Alzheimer, tetapi mengalami setiap tahap dalam satu hari. Aku menatap tanganku meyakinkan diri kalau masih berada di tubuh yang tepat. Ponselku berbunyi.

"Halo, bagaimana kabarnya?"

Aku tercengang karena mengenali suaranya. Rosela membuatku marah karena dengan santainya dia menanyakan kabarku setelah aku mengalami semua kejadian yang sungguh tidak bisa kumengerti.

"Apa yang Anda lakukan kepada saya!"

"Maksud Anda bagaimana, Pak? Apakah kejadian terburuk belum datang?"

Karena frustrasi mendengar suaranya yang seperti tidak bersalah, hampir saja secara otomatis aku membuang ponselku sejauh mungkin, tetapi kuurungkan, aku hanya mematikan teleponnya.

Aku mengeluarkan botol kecil dari sakuku. Benda itu tampak tidak berubah, masih bersinar terang.

"Apa yang kamu lakukan!"

Aku menyadari bahwa mungkin aku terlihat seperti orang gila karena berteriak ke botol di tanganku. Ketika menatap kacanya yang berkilauan, aku mengingat sesuatu. Tiba-tiba terbayang wajah istri dan putriku. Aku memikirkan mereka. Di manakah mereka sekarang? Aku tahu mereka ada. Mereka memang ada. Aku baru saja melihat Emilia pagi tadi, tetapi tidak sempat berpamitan dengannya, bahkan ke putri kecilku.

Aku terlalu sibuk dengan pekerjaanku sehingga tidak memiliki waktu untuk berkumpul bersama mereka. Aku tidak pernah mengajak mereka berjalan-jalan, bahkan di hari libur. Yang ada di kepalaku adalah mencari uang, uang, dan uang karena kupikir uang bisa membuat Emilia senang. Namun, semua dalam hidup ternyata memang bukan tentang uang. Keluargaku lebih membutuhkan waktu dan perhatianku.  

Pikiran itu mencabik-cabik perasaanku. Aku seperti kehilangan mereka, bahkan aku tidak tahu  mereka berada di mana. Otakku berputar, seketika teringat bahwa kemungkinan Emilia pergi ke rumah ibunya. Astaga, ya, Emilia ingin mengunjungi ibunya. Hanya ibunya yang masih ada, tidak dengan kedua orang tuaku. Aku melupakannya. Aku bahkan tidak ingat kapan terakhir kali ikut mengunjunginya.

Aku tidak ingin pulang ke rumah yang membuatku bingung. Aku memutuskan untuk ke rumah Ibu mertuaku. Namun, mendadak aku tidak bisa mengingat satu fakta pun tentang perjalanan menuju ke sana. Aku kehilangan ingatan lagi.  

Hujan disertai angin dingin sekarang. Itu seperti mencambuk wajahku, membuat hidung dan pipiku perih. Aku ingin pulang. Aku ingin bersama istri dan anakku, mencari kehangatan bersama mereka.

Aku masih berdiri di depan gedung dan memegang botol itu. Dengan matahari terbenam dan langit hujan, aku melihat botol ditanganku bersinar lebih terang daripada lampu jalan mana pun di dekatku. Sayangnya, aku justru tidak bisa mengingat apa pun. Yang bisa kuingat secara kongkret adalah wanita yang memberikan botol kepadaku. Dan mengatakan bahwa itu adalah botol yang membawa kebahagiaan. Dia penipu. Botol kebahagian tidak membawa kebahagiaan, tetapi rasa sakit karena yang kubeli adalah penderitaan. Bahkan, aku lebih sengsara daripada sebelumnya.

Aku ingin memecahkannya karena membutuhkan pelepasan marah dan kesal. Aku lantas mengangkat lenganku ke atas kepala dan menurunkannya dengan satu gerakan cepat, menghancurkan botol ke atas beton di bawah kakiku. Udara gelap dan dingin yang menyertai hujan menyebar seperti gelombang kejut, seperti bom yang meledak dan aku berada di pusat gempa. Cahaya kuning yang hangat dari dalam botol menyebar dengan cepat melintasi tanah dan naik ke langit. Seolah olah aku sedang menyaksikan permulaaan alam semesta diciptakan, seperti Tuhan menjentikkan "jari"-Nya dan berkata "Jadilah terang".

Aku tidak bisa lagi melihat jalan atau hujan, atau sesuatu di hadapanku. Tubuhku terasa seperti terbang yang melaju lebih cepat dari kecepatan cahaya. Rasanya seperti duduk di depan perapian di malam musim dingin, tetapi kehangatan tiba-tiba menyelimuti setiap jengkal tubuhku. Kemudian aku berkedip.

Aku bisa merasakan selimut menutupi tubuhku dan punggungku menyentuh punggung Emilia. Kami bangun pada waktu yang bersamaan.

"Hari masih terlalu pagi, tidurlah kembali," katanya.

Akan tetapi, aku berdiri dari tempat tidur dan meraih ponselku. Aku mengingat bahwa hari masih Jumat dan akan meminta izin untuk tidak bekerja. Biarlah aku menerima kompensasinya nanti.

Aku menyelinap ke kamar putriku, menyapanya dengan ciuman, dan memberitahunya bahwa dia tidak harus pergi ke sekolah hari ini. Kami akan menikmati hari keluarga, lalu besok pergi mengunjungi neneknya. Putriku tersenyum dan merentangkan tangannya sambil menguap sebelum meringkuk dan tertidur kembali.

Aku kembali ke kamar dan memeluk Emilia erat-erat karena bahagia bisa melihatnya lagi. Kemarin-kemarin aku mungkin menjengkelkan dan membosankan baginya. Namun, tidak hari ini. Aku menarik tubuh Emilia ke bawah selimut dan ingin berbahagia dengannya lebih lama, seperti dulu lagi. Emilia menggeliat dan tersenyum. Tiba-tiba ponselku berbunyi. Ada notifikasi pesan masuk.

"Maaf, Pak. Anda belum membayarnya."

-Shyants Eleftheria, Life is a Journey- 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun