Di dalam menjalankan tatanan kehidupan sosial budaya, politik, pemerintahan, ekonomi dan keagamaan, masyarakat Minangkabau senantiasa mendasarkan keputusan dan membuat kebijakan melalui musyawarah dan mufakat.
Bulek aie ka pambuluah, bulek kato dek mufakaik. Kok bulek dapek digiliangkan kok picak dapek dilayangkan. Intinya adalah setiap gerak kehidupan bersama mestilah dimusyawarahkan untuk diperiakan dan dipertidakkan atau dipaiokan dan dipatidokan.
II. Refleksi
Minangkabau, sebagai bagian tak terpisahkan dengan Tanah Air Indonesia, mengalami pasang naik dan surut di dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Sejak zaman klasik, penjajahan Belanda, era pergerakan nasional, penjajahan Jepang, alam kemerdekaan awal, masa Orde Lama, masa Orde baru dan sekarang Orde Reformasi dan Pasca Reformasi (1998-2017).
Yang paling khas di dalam kehidupan pemerintahan, kenegaraan dan kebangsaan itu bagi Minangkabau adalah peristiwa PRRI (1957-1960). Peristiwa ini oleh sebagian besar kalangan masyarakat Minangkabau baik yang di kampung maupun di rantau membekas dalam, Â bahkan boleh jadi pada hal-hal tertentu, menjadi traumatik.Â
Trauma itu membuat masyarakat Minangkabau tertekan secara psikologis beberapa dekade. Keadaan itu berjalan di masa Orde Lama (1955-1965). Â Pada masa ini kepemimpinan dan kebijakan publik dinominasi oleh kaum komunis, Â nasionalis serta kaum agama tradisionalis yang disebut Nasakom yang pada intinya semuanya terpusat kepada Soekarno.
Pasca rezim Soekarno, setelah pembunuhan beberapa Jenderal tahun 1965, lahirlah Orde Baru atau pemerintahan Soeharto. Pada masa awal era ini masyarakat Minangkabau mulai merehabilitir diri. Pada waktu ini Sumatra Barat dipimpin seorang Gubernur Sipil Harun Zain yang memerintah dengan motto : Mambangkik Batang Tarandam.Â
Pada dasarnya era ini situasi Minangkabau yang porak-poranda dilanda perang saudara dengan pemerintah pusat sebelumnya, hendak diperbaiki. Masyarakat Minangkabau dan tokoh-tokohnya  berupaya mengembalikan harga diri dan martabat yang dianggap sebelumnya sempat terbenam lumpur sejarah. [3]
Era klasik dan masa pergerakan nasional yang telah diisi oleh perjuangan tokoh-tokoh Islam dan nasionalis Minangkabau ingin dijadikan motivasi ulang untuk kejayaan. Tokoh-tokoh pejuang, ulama dan tokoh bangsa seperti Tuanku Imam Bonjol, Siti Manggopoh, Syekh Ahmad Khatib Al-Minangkabawi, Syekh Jalaludin al-Falaki al-Azhari, Dr. Syekh Abdul Karim Amarullah (Inyiek Rasul) , Dr. Syekh Abdullah Ahmad, Syekh Moh. Jamil Jambek atau Inyiak Jambek, Inyiek Musa Parabek, Inyiek Sulaiman Al-Rasuli, Rahmah El-Yunusiah, Zainuddin Labai el-Yunisy, Agus Salim, Rasuna Said, Duski Samad, Hatta, Natsir, HAMKA, Sutan Syahrir, Moh. Yamin dan deretan tokoh besar bangsa yang sebelumnya telah mengharumkan nama Minangkabau di pelataran nasional, kembali ditoleh sebagai motivasi kemajuan.