Mohon tunggu...
Shinta Harini
Shinta Harini Mohon Tunggu... Penulis - From outside looking in

Pengajar dan penulis materi pengajaran Bahasa Inggris di LIA. A published author under a pseudonym.

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana Pilihan

Cerber: Anugerah, Bukan Kutukan - Part 5

12 September 2021   00:35 Diperbarui: 12 September 2021   01:15 486
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Anugerah, Bukan Kutukan (Sumber: Pixabay)

Bagian sebelumnya...

Tidak banyak orang yang dapat mengira usia Regina Septadibrata yang sebenarnya. Pertengahan 40-an, hampir 50 bahkan. Ia masih tampak sangat fit di pakaian senamnya, tampak sexy bahkan dengan keringat membanjiri tubuhnya setelah setengah jam di treadmill, lima belas menit angkat berat, dan lima belas menit lagi di ruang sauna. Cukup satu jam setiap pagi sebelum hari-hari sibuknya dimulai di bank yang ia pegang yang berada di pusat kota.

Regina menyeka sisa-sisa peluh di lehernya dan beranjak ke kamar mandi di dalam kamar tidurnya yang didominasi dengan warna putih. Suaminya lagi-lagi sedang berada di luar negeri mengurusi perluasan perusahaan utama mereka. Shanghai menjadi target mereka sekarang dan segalanya tampak berjalan sesuai harapan.

Berbalutkan mantel mandi abu-abunya, Regina memutuskan untuk mengenakan setelan jas dan rok berwarna biru pucat dan blus perak dengan motif kotak-kotak yang sewarna. Ia tata rambut lurus sebahunya dengan sedikit gel, ia bubuhkan sedikit kosmetik di sekitar matanya, ia katupkan bibirnya sejenak setelah membubuhkan sedikit lipstick hampir sewarna dengan bibir merah mudanya. Kecantikan klasik mantan gadis sampul di sebuah majalah remaja ini membuatnya hampir tidak membutuhkan make up untuk membuat ia terlihat menarik.

Regina mengenakan sepatu setinggi tujuh sentimeter-nya dan melangkah elegan dengan tas sewarna dengan sepatu itu di lengannya. Ia ambil sebotol jus jeruk dari dalam lemari es dan ia tuang segelas untuknya. Jeruk tanpa gula, yang terbaik untuknya. Ia raih kunci mobil dari atas meja bar-nya. Dari mobilnya ia menghubungi kepala keamanannya dan memberitahunya bahwa ia siap berangkat hari ini. Ia tidak akan kembali sampai malam nanti di mana Lovy, Liz, dan Rizal akan datang untuk makan malam. Mereka menyayangkan ayah tidak dapat bersama-sama mereka pada hari itu. Merayakan ulang tahun mendiang Raphael.

"Ibu Regina, ditunggu untuk rapat jam sepuluh di lantai lima."

"Selamat pagi juga, Putri." Regina tersenyum pada sekretaris pribadinya sambil mengambil surat-surat yang disodorkan padanya. "Oh, tolong konfirmasi restoran untuk makan malam kami nanti ya."

"Semua sudah beres. Jam 6.30?"

"Benar sekali. Terima kasih, Putri."

"Sama-sama."

***

Senyum Putri masih terbayang di wajahnya bahkan sampai pintu ruang kerja sang boss tertutup. Ibu Regina adalah wanita terbaik yang pernah menjadi kepalanya. Wanita -- atau mungkin orang terbaik. Ia selalu memperlakukan bawahannya sebagai manusia, tidak pernah mengeluarkan kata-kata kasar atau bahkan menaikkan suaranya. Putri sudah bekerja selama dua tahun di kantor pusat Bank Nusantara ini sebagai sekretaris direktur setelah sebelumnya mulai sebagai staf data input. Karirnya mulai berkembang setelah ia mulai promosi sebagai sekretaris di beberapa cabang bank tersebut.

Ia tahu makan malam yang dibicarakan Ibu Regina barusan adalah hal yang sangat penting untuk keluarga Septadibrata. Tanggal 1 Maret adalah ulang tahun mendiang putra Ibu Regina yang hilang sepuluh tahun yang lalu. Belum ada yang menemukan jenazah Raphael dan setahu Putri keluarga itu belum juga menyerah berusaha menemukan anak laki-laki yang saat itu berusia sepuluh tahun. Mereka juga masih mempunyai keyakinan kuat bahwa Raphael belum meninggal dunia. Tetapi setelah sepuluh tahun dan kenyataan bahwa anak itu sekarang sudah berusia dua puluh tahun kalau ia masih hidup, siapa yang kiranya begitu sampai hati menahannya sampai sekian lama.

Keluarga itu tidak pernah merayakan hari ulang tahun anak-anak yang lain atau bahkan ulang tahun perkawinan Ibu Regina dan suaminya, Bapak Kusuma. Raphael yang terpenting untuk mereka.

Pesawat telepon di meja samping berdering dan Putri menghentikan pekerjaannya mengetik sebuah surat untuk mengangkatnya.

"Kantor Ibu Regina, selamat pagi, ada yang bisa saya bantu?"

"Putri?"

Putri memejamkan matanya.

"Ada apa, Rizal?"

Dari ujung telepon yang satu, Rizal terkekeh pelan.

"Ada apa, Putri? Tidakkah kau menyukai apa yang terjadi juga semalam?"

Putri dapat merasakan wajahnya memerah. "Aku tidak suka apa yang terjadi di antara kita. Dan kalau kau tidak ingat apa yang benar-benar terjadi, biar aku ingatkan sekali lagi. Aku tidak suka dan tidak menginginkanmu."

Masih hangat telapak tangannya bekas menampar Rizal. Masih sakit tubuhnya gara-gara si laki-laki tak setia brengsek itu. Rizal anak tertua Ibu Regina, sudah menikah dan mempunyai dua anak tapi matanya masih senang belanja. Incarannya sering kali para sekretaris di kantor ayah atau ibunya atau kantornya sendiri. Dan akhir-akhir ini ia rajin mendatangi Putri baik di kantor mau pun di acara-acara social yang mereka berdua hadiri atau acara kantor Bank Nusantara di mana Putri menjadi salah satu panitia. Walau pun Rizal tidak termasuk undangan, ia akan tetap datang ke acara itu.

Putri bukannya tidak tahu bahwa istri Rizal sudah tahu kebiasaan suaminya itu. Dan ia dengan senang hati mengatakan pada wanita itu bahwa ia akan memberi pelajaran pada Rizal. Yang Putri tidak mengerti adalah mengapa istri Rizal tidak pernah memberi ultimatum pada suaminya. Kedua orang itu mungkin satu pasangan yang sakit. Ketika Putri mengatakan pada Rizal bahwa istrinya sudah mengetahui tentang segala tingkah lakunya, Rizal hanya tertawa dan semakin mempepet Putri ke tembok dan menempelkan kedua dahi mereka.

"Apa katamu?" tanyanya dengan suara rendah.

"Aku bilang, istrimu sudah tahu segalanya. Aku yang memberitahunya."

Rizal mengusapkan hidungnya ke hidung Putri, membuatnya merinding karena jijik. "Terus apa kata dia?"

Putri terdiam dan ia memejamkan matanya. Apa yang dikatakan istri Rizal? Sama sekali tidak ada. Orang-orang ini mungkin sudah gila. Apakah uang sudah membutakan mereka? Dengan kesal Putri mendorong Rizal di dadanya dengan kedua tangannya kuat-kuat.

"Pergi kau jauh-jauh. Aku tidak tertarik padamu, kau dengar? Aku tidak ingin uang atau perhiasan atau apa pun darimu."

Malam itu akhirnya Putri berhasil melepaskan diri dari cengkeraman si ular tapi tidak sebelum Rizal menyakitinya yang membuatnya harus pergi dengan deraian air mata.

Putri memandangi pesawat telepon yang berkicau sendiri di tangannya. Ia sudah berhenti mendengarkan sejak setengah jam yang lalu walau ia juga memutuskan untuk tidak menutup saja telepon itu. Membuat Rizal merasa seolah-olah Putri masih  mendengarkan membuatnya merasa jauh lebih baik. Mempermainkan Rizal sekarang adalah tujuan Putri setelah cara yang pertama gagal. Ia tahu Rizal ingin ia pergi ke acara keluarganya malam ini walau sudah jelas istrinya akan berada di sana juga. Putri sadar itu adalah acara pribadi dan tidak seorang pegawai Ibu Regina yang diundang. Namun kalau ia ingin gangguan Rizal berhenti total, mungkin ia harus datang. Ia punya rencana dan acara makan malam nanti akan sangat sempurna untuk melaksanakan.

Pelan-pelan Putri menempelkan pesawat telepon ke telinganya dan mendapati suara berdengung tanda Rizal sudah memutuskan hubungan. Putri tersenyum kecil. Rizal tetap tidak tahu apakah ia jadi akan datang atau tidak. Ia tidak akan menerka apa yang akan terjadi nanti.


~ ~ ~

Bersambung

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun