Di tepian pantai lelaki pemikul sepi itu duduk sendirian. Di atas pasir pantai dianggapnya adalah rumahnya. Sebab lelaki itu sedang menunggu senja. Senja adalah merupakan ilusi baginya. Bahwa senja menciptakan layung di ufuk Barat. Mambang kuning kemerah – merahan di langit kala mentari akan terbenam dianggapnya adalah rembulan yang padam. Ya, layung langit itu rembulan sedang tidur dengan kelambu sutera kuning emas kemerah- merahan. Sebuah obsesi pikiran yang hampir, dan hampir setengah gila. Tetapi lelaki itu tidak gila. Sebuah pergulatan jiwa yang harus dia tempuh sendirian dalam sepi.
Hanya sebuah pengingkaran cinta. Cinta kepada istrinya yang telah tiada. Wulan telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Di satu sisi, pengingkaran kepada Tuhan. Oleh sebuah Cinta yang tulus maka lelaki itu takut mengingkari ikrar cinta kepada mendiang istrinya. Bila dia mengingkari maka sebuah dosa yang besar kepada Tuhan. Karena dia telah ingkar dariNya . Maut pun telah menjemput istrinya,tetapi tohlelaki itu takut juga mengingkari. Sampai akhirnya lelaki pemikul sepi itu mengingkari dirinya sendiri. Melaknatni dirinya sendiri. Dia merajami jiwanya. Bilur – bilur jiwanya telah luka tersayat sebilah belati miliknya sendiri.
Hingga pada suatu waktu. Saat siang itu dia menunggu senja. Pantai itu tak sebiasanya sepi. Hari itu cukup ramai. Ada sekelompok orang yang datang bertamasya. Sebuah organisasi pemuda gerejawi. Setelah selesai dengan peribadatan, mereka bercengkerama, bermain di riak- riak ombak, saling kejar – kejaran. Sehingga ketenangan pantai itu jelang senja seakan terusik dengan kehadiran canda dan tawa mereka.
Dan yang paling terusik adalah lelaki pemikul sepi ini. Seperti biasa, lelaki itu duduk sendiri dalam sepinya. Sambil menunggu detik – detik senja, Menunggu dan terus menunggu. Tetapi ketenangannya buyar seketika oleh suara – suara sekumpulan pemuda itu. Tetapi dia diam saja. Lelaki itu tidak nampak marah. Hanya gerakan tubuhnya yang kelihatan gelisah.
**********
Namun kegelisah itu hanya sementara. Ketika seraut wajah yang tak pernah hilang dari ingatanya, datang menghampirinya. Wajah Wulan mendiang istrinya. Persis seperti Wulan. Sepasang mata lelaki pemikul sepi ini membelalak dan agak terperanjat.
“Maaf, Mas ! Kalau kehadiran kami ini mengganggu.!”
“E,,e,,,tidak. tidak,,!” Silakan saja. Eh, boleh ku tahu kamu siapa!”
“Saya koordiantor pemuda yang datang tamasya di sini , mas. !”
“E,,e,, boleh ku tahu namamu!” Sambil bangkit dari duduknya, lelaki pemikul sepi itu menyalami dengan tangannya.
“E,,nama saya Ekram! Lanjut lelaki itu