Kelopak matanya sayu. Sinarnya redup; dengan kedipan yang sangat pelan sekali. Seumpama sebuah lagu dengan tempo adagissimo, pelan sekali. Sebentuk mata yang menatap rembulan penuh dengan nestapa. Seakan – akan kesedihannya terletak pada rembulan itu.Ya, rembulan itulah yang mengubah semuanya. Mungkin sebuah cinta. Ataukah Ingkar!
Jika itu ingkar; kepada Tuhan merupakan dosa dan laknat kepada dirinya sendiri. Tuhan itu adalah nafasku, nafas kita. Jadi, lelaki itu mengingkari nafasnya dari Tuhan?
Semua yang bergerak dalam alam semesta ini adalah milikNya. Embun hanyalah titik air yang sangat kecil, kecil sekali. Tapi adalah pemberianNya. Dari titik – titik air inilah ada kehidupan.
Sepasang Camar yang sedang bercinta di sebuah batu karang runcing yang tersembul dari permukaan laut ketika air telah surut. Kedua Camar ini di mabuk asmara. Keduanya bercumbu dan bermesraan. Tak menyadari sewaktu – waktu datang air pasang dan gelombang besar menerpa batu karang runcing itu. Hanya naluri saja kedua Camar itu akan selamat lalu terbang tinggi. Karena keduanya menciptakan setitik air kehidupan. Di sela – sela cumbuan kedua Camar itu mengungkapkan misteri cinta mereka..
“Oh, kanda Amoroso peluklah aku sayang,,,dikau pujaanku,aku cintamu .!”
“ Iya, Mayumi,,kanda hangatkan dinda dengan pelukan sayap ini. Kanda ungkapkan cinta ini hanya untuk dinda sayang!”
Tak berapa lama kemudian percik – percik air kehidupan bertebaran di udara. Keesokan harinya, sayap Amoroso telah menaungi Nachita, atau besoknya lagi bersama Narita. Pengingkaran Amoroso hanya sebatas naluri hewan. Karena dia adalah seekor burung saja.
Tetapi lelaki pemikul kesepian, tidak sedemikian. Jalan pikirannya tidak sampai ke situ.
Sepanjang hari hanya menunggu sang rembulan untuk menyulam malam dengan sebait sepi. Bila rembulan pergi meninggalkannya, sepi itu lebih terasa berat baginya. Dengan punggung yang sedikit terbungkuk, lelaki itu berjalan menghitung jejak langkahnya sendiri. Hari – hari yang berlalu hanya sebuah penyiksaan bathinnya. Jika lelaki itu adalah Amoroso, mungkin tidak seperti ini. Terbang diantara siluet. Malam pekat adalah hari paling terindah baginya. Bila rembulan datang membesuknya. Lelaki itu pasti telah lupa kepada rembulan.
Lalu, bilahkah rembulan tak kunjung tiba?
*********
Di tepian pantai lelaki pemikul sepi itu duduk sendirian. Di atas pasir pantai dianggapnya adalah rumahnya. Sebab lelaki itu sedang menunggu senja. Senja adalah merupakan ilusi baginya. Bahwa senja menciptakan layung di ufuk Barat. Mambang kuning kemerah – merahan di langit kala mentari akan terbenam dianggapnya adalah rembulan yang padam. Ya, layung langit itu rembulan sedang tidur dengan kelambu sutera kuning emas kemerah- merahan. Sebuah obsesi pikiran yang hampir, dan hampir setengah gila. Tetapi lelaki itu tidak gila. Sebuah pergulatan jiwa yang harus dia tempuh sendirian dalam sepi.
Hanya sebuah pengingkaran cinta. Cinta kepada istrinya yang telah tiada. Wulan telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Di satu sisi, pengingkaran kepada Tuhan. Oleh sebuah Cinta yang tulus maka lelaki itu takut mengingkari ikrar cinta kepada mendiang istrinya. Bila dia mengingkari maka sebuah dosa yang besar kepada Tuhan. Karena dia telah ingkar dariNya . Maut pun telah menjemput istrinya,tetapi tohlelaki itu takut juga mengingkari. Sampai akhirnya lelaki pemikul sepi itu mengingkari dirinya sendiri. Melaknatni dirinya sendiri. Dia merajami jiwanya. Bilur – bilur jiwanya telah luka tersayat sebilah belati miliknya sendiri.
Hingga pada suatu waktu. Saat siang itu dia menunggu senja. Pantai itu tak sebiasanya sepi. Hari itu cukup ramai. Ada sekelompok orang yang datang bertamasya. Sebuah organisasi pemuda gerejawi. Setelah selesai dengan peribadatan, mereka bercengkerama, bermain di riak- riak ombak, saling kejar – kejaran. Sehingga ketenangan pantai itu jelang senja seakan terusik dengan kehadiran canda dan tawa mereka.
Dan yang paling terusik adalah lelaki pemikul sepi ini. Seperti biasa, lelaki itu duduk sendiri dalam sepinya. Sambil menunggu detik – detik senja, Menunggu dan terus menunggu. Tetapi ketenangannya buyar seketika oleh suara – suara sekumpulan pemuda itu. Tetapi dia diam saja. Lelaki itu tidak nampak marah. Hanya gerakan tubuhnya yang kelihatan gelisah.
**********
Namun kegelisah itu hanya sementara. Ketika seraut wajah yang tak pernah hilang dari ingatanya, datang menghampirinya. Wajah Wulan mendiang istrinya. Persis seperti Wulan. Sepasang mata lelaki pemikul sepi ini membelalak dan agak terperanjat.
“Maaf, Mas ! Kalau kehadiran kami ini mengganggu.!”
“E,,e,,,tidak. tidak,,!” Silakan saja. Eh, boleh ku tahu kamu siapa!”
“Saya koordiantor pemuda yang datang tamasya di sini , mas. !”
“E,,e,, boleh ku tahu namamu!” Sambil bangkit dari duduknya, lelaki pemikul sepi itu menyalami dengan tangannya.
“E,,nama saya Ekram! Lanjut lelaki itu
“ Saya Mentari! Perempuan yang bernama Mentari menyambut uluran tangan lelaki pemikul sepi yang bernama Ekram.
Jemari Mentari merasakan sentuhan jemari Ekram sangat kuat sekali. Seperti sebuah remasan tangan yang penuh arti. Remasan jemari itu cukup lama juga hingga lambat laun berubah seperti sebuah genggaman yang halus. Genggaman untuk mengetuk sebuah bilik cinta, bila bilik itu tiada yang menghuninya.
“Eh,,maafkan saya Mentari! Saya lupa, ,,saya ,,,
“Tidak apa – apa mas Ekram! Mungkin saya yang harus meminta maaf, karena telah menggangu ketenangan mas!”
Tersontak dada Ekram. Ini namanya ; pucuk di cinta rembulan pun tiba. Binar matanya tak seindah binar hatinya. Seakan – akan Ekram lelaki pemikul sepi, telah terbangun dari tidurnya yang panjang. Kehadiran Mentari saat itu telah terpatri di relung hatinya yang terlalu sulit untuk mengukur kedalamannya. Sungguh jauh ke dalam lubuknya. Tiada terkira.
Sejak saat itu Lelaki pemikul sepi tak lagi menunggu senja. Menunggu rembulan. Tetapi lelaki pemikul sepi itu mulai bertandang ke bias – bias cahaya mentari. Dia telah lupa kepada rembulan. Lupa juga kepada ingkarnya. Sedangkan Mentari juga, semakin jinak biasnya. Sebab di bilik hatinya tiada yang pernah mengetuk selain ketukan lembut Ekram, Lelaki pemikul sepi.
**********
@rskp, 15052016,, Jakarta