Mohon tunggu...
Riecki Serpihan Kelana Pianaung
Riecki Serpihan Kelana Pianaung Mohon Tunggu... Karyawan Swasta -

"Hidup hanya berkelana dari sebuah serpihan untuk "menuju" mati" ____________________________________ @rskp http://www.jendelasastra.com/user/riecki-serpihan-kelana-pianaung https://domainxx.blogspot.co.id/ https://www.youtube.com/watch?v=M11_fpnT5_g&list=PL1k1ft1F9CCobi2FMkdqQ6H4PFFWPT--o&index=2 https://www.evernote.com/Home.action#n=c9ce48a1-38c2-4b2b-b731-c340d3352d42&ses=4&sh=2&sds=5&

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Lelaki Pemikul Sepi

15 Mei 2016   01:21 Diperbarui: 15 Mei 2016   02:32 201
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
https://lh3.googleusercontent.com/-3lWZD3fy5rU/VzZtfLcqUnI/AAAAAAABkJg/32FWTwrh5fMaNIWC48EuSKkkvb6QrHu7w/w426-h688-rw/10.04.2016%2B-%2B1

Di tepian pantai lelaki pemikul sepi itu duduk sendirian. Di atas pasir pantai dianggapnya adalah rumahnya. Sebab lelaki itu sedang menunggu senja. Senja adalah merupakan ilusi baginya. Bahwa senja menciptakan layung di ufuk Barat. Mambang kuning kemerah – merahan di langit kala mentari akan  terbenam dianggapnya adalah rembulan yang padam. Ya, layung langit itu rembulan sedang tidur dengan kelambu sutera kuning emas kemerah- merahan. Sebuah obsesi pikiran yang hampir, dan hampir  setengah gila. Tetapi lelaki itu tidak gila. Sebuah pergulatan jiwa yang harus dia tempuh sendirian dalam sepi.

Hanya sebuah pengingkaran cinta. Cinta kepada istrinya yang telah tiada. Wulan telah dipanggil oleh yang Maha Kuasa. Di satu sisi, pengingkaran kepada Tuhan. Oleh sebuah Cinta yang tulus maka lelaki itu takut mengingkari ikrar cinta kepada mendiang istrinya. Bila dia mengingkari maka sebuah dosa yang besar kepada Tuhan. Karena dia telah ingkar dariNya . Maut pun telah menjemput istrinya,tetapi  tohlelaki itu takut juga  mengingkari. Sampai akhirnya lelaki pemikul sepi itu mengingkari dirinya sendiri.  Melaknatni dirinya sendiri. Dia merajami jiwanya. Bilur – bilur jiwanya telah  luka tersayat sebilah belati miliknya sendiri.

Hingga pada suatu waktu. Saat siang itu dia menunggu senja. Pantai itu tak sebiasanya sepi. Hari itu cukup ramai. Ada sekelompok orang yang datang bertamasya. Sebuah organisasi pemuda gerejawi. Setelah selesai dengan peribadatan, mereka bercengkerama, bermain di riak- riak ombak, saling kejar – kejaran. Sehingga ketenangan pantai itu jelang senja seakan terusik dengan kehadiran canda dan tawa mereka.

Dan yang paling terusik adalah lelaki pemikul sepi ini. Seperti biasa, lelaki itu duduk sendiri dalam sepinya. Sambil  menunggu detik – detik senja, Menunggu dan terus menunggu. Tetapi ketenangannya buyar seketika oleh suara – suara sekumpulan pemuda itu. Tetapi dia diam saja. Lelaki itu tidak nampak marah. Hanya gerakan tubuhnya yang kelihatan gelisah.

**********

Namun kegelisah itu hanya sementara. Ketika seraut wajah yang tak pernah hilang dari ingatanya, datang menghampirinya. Wajah Wulan mendiang istrinya. Persis seperti Wulan. Sepasang mata lelaki pemikul sepi ini membelalak dan agak terperanjat.

“Maaf,  Mas ! Kalau kehadiran kami ini mengganggu.!”

“E,,e,,,tidak. tidak,,!” Silakan saja.  Eh, boleh ku tahu kamu siapa!”

“Saya koordiantor pemuda yang datang tamasya di sini , mas. !”

“E,,e,, boleh ku tahu namamu!” Sambil bangkit dari duduknya, lelaki pemikul sepi itu menyalami dengan tangannya.

“E,,nama saya Ekram! Lanjut lelaki itu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun