"Kita hidup di zaman ketika IPK tinggi belum tentu jadi tiket masuk dunia kerja. Nilai akademik masih penting, tapi bukan lagi satu-satunya ukuran keberhasilan. Lalu, mengapa kita masih memaksakan sistem yang hanya menghargai angka?"
Selama bertahun-tahun, kita dibesarkan dengan doktrin bahwa nilai akademik adalah segalanya. Capaian angka di atas kertas, dipercaya menjadi simbol kecerdasan, kebanggaan orang tua, bahkan menjadi tolak ukur kesuksesan di masa depan. doktrin-doktrin ini, telah merasuk kedalam mindset kita sejak berada di Sekolah Dasar hingga duduk di bangku Universitas. Mahasiswa dengan nilai IPK yang tinggi dianggap lebih siap menghadapi tantangan pada dunia kerja, lebih layak untuk mendapat beasiswa, bahkan lebih "bernilai" sebagai manusia terpelajar.
Nyatanya realitas yang ada di lapangan menunjukkan sesuatu yang bertolak belakang. Tidak sedikit lulusan dari Pertguruan Tinggi ternama yang lulus dengan predikat "cumlaude" merasa tersesat setelah wisuda. Tak tahu kemana harus melangkah, tak percaya diri untuk melamar pekerjaan, apalagi membangun karier. Di sisi lain, mahasiswa yang biasa-biasa saja secara akademik justru melesat cepat karena mereka aktif dan punya banyak relasi, pengalaman kerja, dan keberanian mengambil risiko.
Ini bukan fenomena yang langka, bukan juga satu hal yang baru. Peradaban dunia terus berubah, tapi sistem pendidikan kita masih terlalu lama bertahan pada satu ukuran keberhasilan yakni nilai dan angka. Lalu, apakah benar pendidikan kita sudah mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi kompleksitas kehidupan modern?
IPK Tinggi, Tapi Gagal Bersaing
Di atas kertas, ia patut menyandang gelar sebagai mahasiswa yang "nyaris sempurna". Lulus tepat waktu, mendapat nilai IPK di atas 3,8, ditambah lagi sederet piagam penghargaan akademik. Tetapi, ketika mulai memasuki dunia kerja, langkahnya mulai bergetar. Interview demi interview yang dilakukan berakhir dengan penolakan. Ketika ditanya soal pengalaman kerja, kepemimpinan, atau bagaimana menghadapi konflik di dalam satu tim, ia bingung menjawab. Tidak ada yang salah dengan capaian akademiknya, hanya saja dunia kerja menuntut lebih dari sekadar hafalan dan nilai ujian.
Kembali lagi, ini bukan fenomena langka dan bukan pula kasus tunggal. Banyak mahasiswa yang terlalu fokus mengejar predikat "cumlaude" dengan IPK tinggi, sampai lupa menyiapkan bekal lain yang justru lebih menentukan di dunia kerja, seperti kemampuan komunikasi, problem solving, kepemimpinan, manajemen waktu, dan kecerdasan emosional. Nilai tinggi memang menunjukkan konsistensi dan kerja keras, tapi itu bukan jaminan bahwa seseorang siap beradaptasi dengan dinamika dunia nyata.
Sebaliknya, mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan, bahkan sampai rela bekerja paruh waktu demi mencukupi kebutuhan atau sekedar mencari pengalaman, yang sering dipandang sebelah mata secara akademik. Namun, mereka justru terbiasa bernegosiasi, menyelesaikan masalah di lapangan, dan berpikir cepat. Mereka belajar menghadapi kegagalan, tekanan, dan konflik interpersonal serta hal-hal yang tidak pernah diajarkan di ruang kelas, tapi sangat krusial dalam dunia profesional.
Masalahnya bukan pada siapa yang benar atau salah. Tapi pada sistem yang masih terlalu berpihak pada angka. Di banyak kampus, mahasiswa berlomba-lomba menjaga IPK, bahkan dengan cara instan. Menyalin tugas, membeli skripsi, atau hanya belajar demi ujian, semua dilakukan demi satu tujuan yaitu "angka tinggi". Namun, ketika angka itu tidak sebanding dengan kompetensi nyata, mahasiswa sendiri yang dirugikan. Mungkin sudah saatnya kita bertanya, apa gunanya nilai tinggi jika tidak diiringi kesiapan menghadapi hidup yang penuh tantangan?
Kampus Mengajar Akademik, Hidup Mengajar Adaptasi
Di dalam ruang kuliah, kita banyak belajar mengenai teori-teori. Kita mengenal tokoh-tokoh besar, rumus-rumus, dan prinsip-prinsip ilmu yang disusun rapi dalam silabus. Kita diajarkan dan dilatih untuk menjawab soal, menulis makalah, dan menghafal materi demi ujian akhir semester. Tidak ada yang salah dengan itu semua, akademik tetap penting, dan ilmu pengetahuan tetap menjadi fondasi bagi pembangunan peradaban dimasa depan.
Namun, dunia nyata jarang menanyakan siapa ilmuwan favoritmu? atau apa isi makalahmu?. Yang lebih sering ditanya adalah "Apa yang bisa kamu kerjakan?" "Bagaimana kamu menyikapi tekanan?" dan "Apa nilai tambah yang kamu tawarkan?". Di sinilah titik perbedaannya. Kampus mengajarkan kita tentang isi kepala, tapi hidup menuntut kita mengolah hati, sikap, dan intuisi. Dunia kerja, komunitas sosial. Tantangan hidup pribadi, tidak bisa dihadapi dengan nilai akademik saja. Dibutuhkan kemampuan adaptasi, fleksibilitas dalam berpikir, dan kepercayaan diri untuk menghadapi perubahan yang datang tanpa aba-aba.
Banyak mahasiswa yang kaget saat memasuki dunia pasca-kampus karena terbiasa dengan sistem yang "terstruktur dan terjamin". Saat dihadapkan dengan situasi yang tidak pasti, seperti penolakan kerja, kegagalan proyek, atau ketidak jelasan arah hidup, mereka mudah cemas, kehilangan arah, dan merasa tidak cukup.
Sebaliknya, mereka yang semasa kuliah berani keluar dari zona nyaman, ikut kegiatan sosial, magang, atau membangun relasi lintas jurusan, lebih siap menghadapi kerumitan hidup. Mereka punya pengalaman jatuh dan bangkit, mengalami konflik dan menyelesaikannya, serta belajar bahwa nilai hidup tak hanya diukur dari IPK, tapi juga dari kemampuan bertahan dan berkontribusi.
Maka wajar jika hari ini, banyak perusahaan dan lembaga lebih mencari kandidat yang punya soft skill kuat, inisiatif, serta etos kerja baik, meskipun nilai akademiknya biasa saja. Dunia tak lagi menilai hanya dari transkrip nilai, tapi dari nilai-nilai yang dibentuk oleh pengalaman hidup.
Saatnya Redefinisi 'Berprestasi'
Sebenarnya, apa arti "berprestasi" di zaman sekarang? Apakah masih sebatas juara kelas, IPK nyaris sempurna, lulus tepat waktu dengan predikat "cumlaude" atau sederet sertifikat seminar? Jika iya, ini berarti kita sedang terjebak pada definisi lama yang tak lagi relevan dengan tantangan dunia modern. Prestasi sesungguhnya, hari ini tidak hanya diukur dari hasil, tetapi dari proses, keberanian mencoba, dan ketahanan dalam menghadapi kegagalan. Seorang mahasiswa yang pernah gagal membangun komunitas, tapi bangkit dan mencoba lagi, bisa jadi lebih "berprestasi" dibanding mereka yang hanya fokus pada nilai dan bermain aman.
Sayangnya, sistem pendidikan kita masih kerap mengagungkan pencapaian yang bisa diukur angka. Kita jarang memberi ruang bagi mahasiswa untuk "salah", "coba-coba", apalagi "gagal". Padahal, justru dalam ruang-ruang itulah kreativitas dan resiliensi tumbuh. Gagal bukan aib, asal diiringi pembelajaran.
Saatnya kampus dan para pendidik mulai memberi pengakuan lebih besar pada capaian non-akademik, seperti inisiatif sosial, karya kreatif, hingga keberanian mengambil jalur karier yang tak lazim. Ini bukan berarti nilai akademik harus ditinggalkan, melainkan diseimbangkan dengan bentuk-bentuk kecakapan hidup lain. Kita juga perlu membebaskan mahasiswa dari tekanan untuk selalu menjadi "sempurna". Tak semua orang cocok di jalur akademik murni. Ada yang bersinar di lapangan, di dunia kreatif, di ruang publik. Menghargai keberagaman potensi adalah bagian dari redefinisi prestasi itu sendiri.
Jadi, ketika seseorang tak memiliki IPK tinggi, bukan berarti ia gagal. Bisa jadi, ia sedang menjalani jalur prestasinya sendiri, yang mungkin belum kita pahami sepenuhnya.
Belajar untuk Hidup, Bukan Sekadar Lulus
Disini kita tidak sedang mengesampingkan atau menyepelekan nilai akademik. Tapi kita juga tidak bisa terus memuja angka dan mengabaikan kenyataan. Dunia nyata tidak pernah meminta fotocopy KHS-mu. Ia akan menguji ketangguhanmu, seberapa kuat kamu bangkit setelah gagal, dan seberapa jauh kamu bisa membawa dampak baik untuk lingkungan sekitarmu, sekecil apa pun itu, di dunia nyata itu akan berarti.
Belajar bukan semata-mata tentang menghafal dan mengerjakan tugas. Belajar adalah proses memanusiakan diri, melatih cara berpikir, bersikap, dan berperan dalam kehidupan. Maka jika hari ini kita hanya mengincar nilai A tanpa pernah bertanya "apa makna dari yang kupelajari?", kita sedang kehilangan esensi dari pendidikan itu sendiri.
Untuk para mahasiswa, sudah waktunya memandang kampus bukan sebagai pabrik nilai, tapi sebagai ruang tumbuh. Kembangkan diri, cari pengalaman, berani keluar dari zona nyaman. Belajar dari orang lain, dari kegagalan, dari dunia nyata. Sebab kelak, dunia tidak akan bertanya "berapa IPK-mu?", Tapi mereka akan bertanya "Apa yang bisa kamu kontribusikan?"
Dan untuk para pendidik, orang tua, dan pembuat kebijakan, mari bantu redefinisi arti sukses. Beri ruang untuk gagal, beri penghargaan untuk proses, dan jangan mengukur kecerdasan hanya dengan angka. Sebab, pendidikan yang baik bukan yang menghasilkan lulusan sempurna, tapi manusia utuh yang siap menghadapi hidup.
Salam
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI