Mohon tunggu...
Septian Adi Nugraha
Septian Adi Nugraha Mohon Tunggu... Mahasiswa

Menulis merupakan suatu cara menikmati proses belajar dalam berbagai aspek. khususnya pada dunia pendidikan, teknologi, dan isu-isu digital yang membentuk cara kita hidup dan berpikir. Percayalah bahwa tulisan yang sederhana bisa membuka percakapan besar.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Ketika Nilai Tinggi tak Lagi Menjamin Apa-apa

3 Juni 2025   12:12 Diperbarui: 3 Juni 2025   21:17 102
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika Nilai Tinggi tak Lagi Menjamin Apa-apa (Sumber: S.A.N)

"Kita hidup di zaman ketika IPK tinggi belum tentu jadi tiket masuk dunia kerja. Nilai akademik masih penting, tapi bukan lagi satu-satunya ukuran keberhasilan. Lalu, mengapa kita masih memaksakan sistem yang hanya menghargai angka?"

Selama bertahun-tahun, kita dibesarkan dengan doktrin bahwa nilai akademik adalah segalanya. Capaian angka di atas kertas, dipercaya menjadi simbol kecerdasan, kebanggaan orang tua, bahkan menjadi tolak ukur kesuksesan di masa depan. doktrin-doktrin ini, telah merasuk kedalam mindset kita sejak berada di Sekolah Dasar hingga duduk di bangku Universitas. Mahasiswa dengan nilai IPK yang tinggi dianggap lebih siap menghadapi tantangan pada dunia kerja, lebih layak untuk mendapat beasiswa, bahkan lebih "bernilai" sebagai manusia terpelajar.

Nyatanya realitas yang ada di lapangan menunjukkan sesuatu yang bertolak belakang. Tidak sedikit lulusan dari Pertguruan Tinggi ternama yang lulus dengan predikat "cumlaude" merasa tersesat setelah wisuda. Tak tahu kemana harus melangkah, tak percaya diri untuk melamar pekerjaan, apalagi membangun karier. Di sisi lain, mahasiswa yang biasa-biasa saja secara akademik justru melesat cepat karena mereka aktif dan punya banyak relasi, pengalaman kerja, dan keberanian mengambil risiko.

Ini bukan fenomena yang langka, bukan juga satu hal yang baru. Peradaban dunia terus berubah, tapi sistem pendidikan kita masih terlalu lama bertahan pada satu ukuran keberhasilan yakni nilai dan angka. Lalu, apakah benar pendidikan kita sudah mempersiapkan mahasiswa untuk menghadapi kompleksitas kehidupan modern?

IPK Tinggi, Tapi Gagal Bersaing

Di atas kertas, ia patut menyandang gelar sebagai mahasiswa yang "nyaris sempurna". Lulus tepat waktu, mendapat nilai IPK di atas 3,8, ditambah lagi sederet piagam penghargaan akademik. Tetapi, ketika mulai memasuki dunia kerja, langkahnya mulai bergetar. Interview demi interview yang dilakukan berakhir dengan penolakan. Ketika ditanya soal pengalaman kerja, kepemimpinan, atau bagaimana menghadapi konflik di dalam satu tim, ia bingung menjawab. Tidak ada yang salah dengan capaian akademiknya, hanya saja dunia kerja menuntut lebih dari sekadar hafalan dan nilai ujian.

Kembali lagi, ini bukan fenomena langka dan bukan pula kasus tunggal. Banyak mahasiswa yang terlalu fokus mengejar predikat "cumlaude" dengan IPK tinggi, sampai lupa menyiapkan bekal lain yang justru lebih menentukan di dunia kerja, seperti kemampuan komunikasi, problem solving, kepemimpinan, manajemen waktu, dan kecerdasan emosional. Nilai tinggi memang menunjukkan konsistensi dan kerja keras, tapi itu bukan jaminan bahwa seseorang siap beradaptasi dengan dinamika dunia nyata.

Sebaliknya, mahasiswa yang aktif dalam berbagai kegiatan, bahkan sampai rela bekerja paruh waktu demi mencukupi kebutuhan atau sekedar mencari pengalaman, yang sering dipandang sebelah mata secara akademik. Namun, mereka justru terbiasa bernegosiasi, menyelesaikan masalah di lapangan, dan berpikir cepat. Mereka belajar menghadapi kegagalan, tekanan, dan konflik interpersonal serta hal-hal yang tidak pernah diajarkan di ruang kelas, tapi sangat krusial dalam dunia profesional.

Masalahnya bukan pada siapa yang benar atau salah. Tapi pada sistem yang masih terlalu berpihak pada angka. Di banyak kampus, mahasiswa berlomba-lomba menjaga IPK, bahkan dengan cara instan. Menyalin tugas, membeli skripsi, atau hanya belajar demi ujian, semua dilakukan demi satu tujuan yaitu "angka tinggi". Namun, ketika angka itu tidak sebanding dengan kompetensi nyata, mahasiswa sendiri yang dirugikan. Mungkin sudah saatnya kita bertanya, apa gunanya nilai tinggi jika tidak diiringi kesiapan menghadapi hidup yang penuh tantangan?

Kampus Mengajar Akademik, Hidup Mengajar Adaptasi

Di dalam ruang kuliah, kita banyak belajar mengenai teori-teori. Kita mengenal tokoh-tokoh besar, rumus-rumus, dan prinsip-prinsip ilmu yang disusun rapi dalam silabus. Kita diajarkan dan dilatih untuk menjawab soal, menulis makalah, dan menghafal materi demi ujian akhir semester. Tidak ada yang salah dengan itu semua, akademik tetap penting, dan ilmu pengetahuan tetap menjadi fondasi bagi pembangunan peradaban dimasa depan.

Namun, dunia nyata jarang menanyakan siapa ilmuwan favoritmu? atau apa isi makalahmu?. Yang lebih sering ditanya adalah "Apa yang bisa kamu kerjakan?" "Bagaimana kamu menyikapi tekanan?" dan "Apa nilai tambah yang kamu tawarkan?". Di sinilah titik perbedaannya. Kampus mengajarkan kita tentang isi kepala, tapi hidup menuntut kita mengolah hati, sikap, dan intuisi. Dunia kerja, komunitas sosial. Tantangan hidup pribadi, tidak bisa dihadapi dengan nilai akademik saja. Dibutuhkan kemampuan adaptasi, fleksibilitas dalam berpikir, dan kepercayaan diri untuk menghadapi perubahan yang datang tanpa aba-aba.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun